Rabu, 08 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUKU TRUNYAN

A.    Asal Usul suku Trunyan atau Bali Aga
Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum. yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. Semuai itu dimulai dari kisah dahulu di kerajaan Surakarta di pulau jawa, tercium bau harum yang berhasil menarik perhatian dari 4 bersudara, pangeran dan putri kerajaan Surakarta. Bau harum tersebut telah berhasil menarik perhatian 4 bersaudara tersebut untuk memutuskan pergi mengembara, mereka terdiri dari 3 orang pangeran dan 1 orang putri.[1]
Saat  sampai di Kaki Gunung Batur, sang Putri bungsu tertarik dengan tempat tersebut dan memutuskan untuk tinggal disana. Meski perjalanan untuk menuju tujuannya baru setengah perjalanan, namun keinginan itu disetujui oleh para kakak-kakaknya. Selanjutnya sang putri pindah ke lereng gunung batur sebelah timur dan memiliki gelar Ratu Ayu Mas Marketeg. Kemudian ketiga saudaranya melanjutkan perjalanannya. Hingga suatu ketika mereka sampi di dataran bernama Kedisan, mereka mendengar suara burung yang merdu. Mendengar suaru burung ini, pangeran ketiga sangat kegirangan. Namun, pangeran pertama ternyata tidak menyukainya. Maka dipertahkannya pangeran ketiga untuk berdiam diri di tempat tersebut. Ketika pangeran ketiga menolak, pangeran sulung marah dan menendangnya hingga jatuh dalam posisi duduk bersila dan berubah patung. Patung tersebut diberi nama Patung Bathara Dewa yang sekarang masih ada di wilayah Kedisan dengan bentuk aslinya yang masih duduk bersila.
B.     Mite, Adat Kebudayaan dan Ritual
            Berikut Mite yangdipercayai terdapat di suku Trunyan.
1.      Mite Tentang Dewi yang Turun Dari Langit
2.      Adat Kebudayaan di suku Trunyan[2]
Berikut adalah, beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut:
a.       Bentuk Pemakaman
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
b.      Pementasan Barung Brutuk
            Selain keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan.
c.       Arsitek Adat Desa Trunyan
Letak Desa Trunyan berada di seblah timur danau Batur, maka orientasi masa-masa bangunannya mengarah ke danau juga. Dalam filosofi bangunan Bali Aga, bangunannya mengarah ke dataran rendah, dalam hal ini adalah danau itu sendiri, sedangkan belakangnya berupa pegunungan.
3.      Ritual dalam Desa Trunyan
Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.
C.    Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama Hindu Trunya dianggap sebagai agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli. Sedangkan maksut dari kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship), yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan.[3]
D.    Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.. Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu. Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1.        Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah.
2.        Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya..
Selain itu Desa ini juga  memiliki tiga cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang  maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut.
1.        Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya.
2.        Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
3.        Untuk mereka yang meninggal wajar (normal), dalam artian meninggal karena faktor usia (bebas dari kriteria yang disebutkan sebelumnya diatas) maka akan diletakkan di pemakaman umum “sema wayah”.
E.     Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayan Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang umat Hindu dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di wilayah desa dan banjar.
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari.
Dinamika budaya serta perubahan sosial  di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. Selain karena keindahan alam laiknya sentuhan agung Tuhan surgawi, juga karena keteguhan penduduknya akan tradisi keagamaan, yang lebih dikenal sebagai “Pulau Dewata”.

      DAFTAR PUSTAKA
            Danandjaja, James Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta: UI-Press, 1989)
            http://www.dgspeak.com/mengenal-sejarah-desa-trunyan/, 14  Maret 2016
            Junus, M Melalatoa, Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia,(Jakarta: CV. Eka Putra,1995)
            Trisila, Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas Udayana, 2002)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar