Rabu, 08 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUKU SAMIN



A.  Asal-Usul Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah sebuah kelompok masyarakat yang terdapat di Blora, sebuah daerah yang berada di kawasan Provinsi Jawa Tengah. Masyarakat Samin memiliki kepercayaan, adat istiadat dan norma-norma tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di Jawa pada umumnya. Ada dua pendapat mengenai asal kata “Samin”. Pertama, nama Samin berasal dari arti kata Samin itu sendiri, yaitu kata yang ditasbihkan dari nama seorang tokoh bernama Samin Surosentiko yang berpengaruh dan membuat sebuah gerakan pemberontakan terhadap pemerintah.[1] Konon pengikutnya sendiri tidak suka dengan sebutan nama Samin sendiri. Mereka lebih suka dengan sebutan “Wong Sikep” yang berarti orang yang mempunyai cara atau adat istiadat tersendiri. Sebagian orang menyebut pengikut Samin ini dengan nama “Wong Paiten”.
Ajaran Samin atau Saminisme disebarkan oleh seorang petani yang bernama Samin Surasentiko atau Surantiko Samin, disebut pula Surontiko Sami. Para pengikut yang mengkultuskannya mengatakan bahwa Surosentiko Samin adalah “Wong Tiban” atau orang yang tidak diketahui dari mana datangnya dan kemana perginya. Bahkan di antara pengikutnya ada yang beranggapan hingga kini Surosentiko Samin masih hidup.[2] Sumber lain menyebutkan Surosentiko Samin adalah cucu Kyai Keti dari Rejekwesi, Kabupaten Bojonegoro. Mereka masih mempunyai hubungan darah dengan pangeran Kusumaningayu dari Kerajaan Pajang. Lahir kira-kira tahun 1859 di Desa Plosokediren sekitar 30 meter dari Blora. Jika dilihat pada zaman sekarang ciri khas masyarakat Samin di antaranya ialah:
·         Tidak bersekolah, pada zaman dahulu masyarakat Samin menganggap kalau anak-anak mereka tidak perlu pendidikan formal melainkan mengajarkan pada anak-anak mereka bagaimana menanamkan sikap kejujuran, kebenaran, tanggung jawab dan pekerja keras agar dapat menghidupi dirinya dan keluarganya kelak. Namun pada zaman sekarang masyarakat Samin sudah banyak yang bersekolah.
·         Memakai "iket", yaitu semacam kain yang diikat di kepala, tidak berpoligami, Tidak memakai celana panjang, dan hanya pakai celana selutut
·         Tidak berdagang karena bagi mereka berdangang menimbulkan sikap ketidakjujuran dan tidak baik.

B.     Pandangan Hidup, Kepercayaan dan Ajaran Orang Samin

Masyarakat Samin, generasi tua khususnya, cenderung masih sangat kuat memegang prinsip-prinsip ajaran Samin, sehingga dalam pemahaman keagamaan mereka tidak menganut agama tertentu. Mereka memandang agama sebagai arti kepercayaan dan keyakinan semua sama, yang berarti semua agama itu baik. Masyarakat Samin mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang mempunyai kepercayaan sendiri, khususnya bagi generasi tua. Agama orang Samin disebut agama Adam.
Agama,  Agama menurut orang Samin berarti “gaman” (senjata), yaitu “gamane wong lanang”. Mereka sering mengatakan “aku iki wong, agamaku Adam, jenengku lanang. Adam itu pengucapku”, dari Adamlah asal hidup dan mati, dan segalanya bersumber pada Dia.
Dari Adamlah asal hidup dan mati manusia. Dalam ajaran Saminisme, cara pengucapan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
a)      Cilik atau masa kecil dengan perkataan: “aku iki wong, agamaku Adam, jenenganku lanang.”[3]
b)      Gede (dewasa, memasuki perkawinan, dan seterusnya). Bagi laki-laki “aku orang sikep, kekuatan wali Adam” (aku orang sikep, kekuatan wali Adam). Bagi perempuan “aku wong Adam, jenengku wedok” (saya keturunan Nabi Adam, namaku perempuan).
C.       Upacara Keagamaan Masyarakat Samin
1.      Upacara Kelahiran
Kelahiran menurut masyarakat Samin adalah sesuatu hal yang dianggap biasa saja, dan mereka beranggapan bahwa seseorang yang baru lahir telah membawa jeneng (nama) sendiri-sendiri. Nama jeneng itu dibagi menjadi jeneng lanang (nama laki-laki) dan jeneng wedok (nama wanita). Anggapan orang Samin ketika bayi menangis dalam bayi itu berarti sang bayi sudah ada roh dan telah mendapatkan tempat ngenger (mengabdikan hidup). Sama seperti masyarakat Jawa, pada umumnya masyarakat Samin juga mengenal brokohan bancakanmbel-mbel yang dibagi-bagikan kepada tetangga dinamakan mbrokohiturunan. Ada ritual yang dinamakan penanaman tembuni yang dibedakan antara pria dan wanita.
1.      Upacara Khitan atau Ditoreh
Masyarakat Samin sebenarnya tidak mengenal khitan atau sunat. Mereka mempunyai pandangan, mengapa anggota tubuh yang sudah ada sejak lahir harus dikurangi atau dihilangkan. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari, seorang anak laki-laki yang sudah menginjak masa “Adam Birahi” atau seseorang yang sudah memasuki akil baligjuga disunat sebagai laki-laki yang beragama Islam. Tidak ada upacara resmi dalam melaksanakan sunat atau ditoreh, hanya si anak dibawa ke bong supit, yang disebut dengan istilah calak.
2.      Upacara Perkawinan
Pengertian perkawinan menurut ajaran Saminisme ialah bagian dari titik tolak ajaran masyarakat Samin dan merupakan ajaran yang sangat fundamental, karena perkawinan dari sepasang laki-laki dan perempuan inilah terjadinya dunia. Dalam perkawinan, ini harus didasari atas suka sama suka (pada demen) dan tidak ada unsur paksaan.
Hal yang unik dari prosesi perkawinan masyarakat Samin ialah adanya masa magang, serta tidak melibatkan aparat pemerintahan atau petugas pencatatan sipil. Cukup dihadiri orang tua atau wali dan beberapa saksi, perkawinan sudah sah. Perkawinan menurut ajaran Saminisme, ialah alat untuk meraih keluhuran budi yang selanjutnya untuk menciptakan atmaja  (keutamaan) yaitu seorang anak yang mulai. Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan terlebih dahulu diadakan peminangan dari calon pengantin laki-laki ke calon pengantin perempuan. Setelah peminangan diterima, calon mempelai laki-laki diantarkan oleh orang tuanya ke rumah calon pengantin perempuan untuk bertempat tinggal (mbateh) dan hidup bersama dengan calon pengantin perempuan agar hidup “rukun” (malakukan hubungan seksual), inilah hal yang paling kontroversial dari tata cara perkawinan masyarakat Samin yaitu hidup serumah sebelum melangsungkan perkawinan disebut juga sebagai masa magang (menunggu). Bila keduanya sudah benar-benar bisa melakukan senggama (rukun), maka calon pengantin laki-laki menghadap calon mertua untuk siap mengawini mempelai perempuan. Sebaliknya, jika pada masa tunggu ini laki-laki itu tidak berhasil “menggauli” si perempuan, apabila pihak perempuan menyatakan tidak suka atau ora demen maka perkawinan tidak bisa dilaksanakan.
3.      Upacara Kematian
Masyarakat Samin mempunyai tata cara tersendiri  dalam hal kematian. Sama seperti halnya kelahiran, kematian juga merupakan peristiwa yang biasa. Menurut orang Samin, orang yang mati itu disebut sebagai salin sandhang (berganti pakaian). Orang yang salin sandhang di kemudian hari akan melanjutkan hidup dengan mengenakan jasad yang lain. Jika dia orang baik, akan kembali hidup menjadi orang baik, sebaliknya kalau dia jahat, maka akan menjadi hewan atau yang lain.

D.  Etika dalam Masyarakat Samin

Masyarakat Samin hingga saat ini masih menjaga statusnya sebagai masyarakat yang masih mempertahankan ajaran “Saminisme”walau telah banyak pergeseran dan pengaruh dari masyarakat luar. Praktek pengalaman ajaran Samin yang diyakini kebenarannya pada gilirannya mempunyai implikasi yang sangat kuat pada pembentukkan watak dan karakter mereka. Beberapa watak yang menonjol dari mereka adalah:
a)      Memegang teguh janji dan menepatinya “kukoh janji”.
b)      Jujur. Sikap seorang Samin sangat bersahaja, memiliki kejujuran yang mengagumkan dan pantang berdusta. Mereka tidak suka berbicara berbelit-belit dan selalu mengusahakan sifat “satunya kata dengan perbuatan”.
c)      Sabar dan tidak suka kekerasan. Orang Samin memiliki kesabaran yang cukup kuat, bahkan saking sabarnya mereka tampak dingin dan tak acuh. Mereka tidak suka kekerasan.
d)     Ikhlas atau “nerimo”. Mereka orang yang ikhlas dan menerima.
Interaksi kepercayaan orang Samin dengan masyarakat sekitar, khususnya yang ada di desa Klopoduwur dan Sambungrejo cukup baik dan akrab, terutama terhadap sesama masyarakat Samin dan juga terhadap agama lain  dan masyarakat lain,karena ajaran Samin menganggap semua agama yang ada dan yang dianut banyak orang adalah baik dan kepercayaan yang dianutnya juga baik. Masyarakat luar memandang masyarakat Samin baik-baik saja, dan mereka bukan agama melainkan sebuah kepercayaan. Karna mereka merupakan suatu kepercayaan, sehingga para tokoh agama Islam tidak memberikan pembinaan terhadap agamanya. Keberadaan mereka tidak meresahkan masyarakat sekitar karena mereka tidak pernah mencela dan tidak mengganggu agama lain. Masyarakat samin pengikutnya semakin lama semakin berkurang, hal tersebut dikarenakan tokoh dan para pengikutnya sudah tua, sedangkan anak-anaknya sudah banyak yang bersekolah. Karena pada zaman dahulu ciri khas dari masyarakat samin salah satunya tidak bersekolah. Namun, seiring berjalannya waktu masyarakat samin sudah mulai bersekolah.
Masyarakat Samin dalam berinteraksi dengan sesama Samin maupun non-Samin menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Penggunaan bahasa tersebut sebagai pertanda bahwa masyarakat Samin termasuk ke dalam kategori kelas sosial tingkat bawah. Masyarakat Samin tidak menutup diri mereka dengan masyarakat luar.
Daftar pustaka
Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004)
Nurudin dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LkiS, 2003)


[1] Titi Mufangati dkk., Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah, (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004), h. 20.
[2] Nurudin dkk., Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 50.
[3] Neng Darol Afia, h. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar