A.
Asal Usul Orang Dayak
Suku Dayak adalah nama yang oleh penduduk
pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau
Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta
Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada
5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser,
Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun
2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi
tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal
Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak
adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai
arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai,
terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.[1]
Ada yang membagi orang Dayak dalam
enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun
Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot
Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5
kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki
kerabat di luar pulau Kalimantan
B.
Mite dan Magi orang Dayak
1.
Suku dayak mempunyai The Ghost Warrior, atau dalam bahasa Indonesia
dapat di artikan prajurit hantu dan seperti itu lah yang mereka ketahui tentang
suku dayak. The Ghost Warrior is pangkalima burung atau penglima burung.
Perawakan panglima burung yang masih misterius bagi masyrakat Indonesia
menjadikan pangkalima burung bak prajurit hantu yang siap menyerang siapa saja
yang melecehkan suku dayak untuk melindungi tanah borneo.
2.
Humans With Full Tattoo
Di mata dunia, tato pada suku dayak yang ada hampir menyelimuti
tubuh suku dayak adalah sebuah karya seni. Sepertinya perlu di koreksi bahwa
tidak semua masyarakat suku dayak mentatto seluruh tubuhnya. Tapi jika
dikaitkan dengan judul tulisan ini, maka bisa saja menjadi menyeramkan jika
semua suku dayak mentatto seluruh tubuhnya dan anda hidup di lungkungan dengan
manusia yang semuanya penuh tatto.
C.
Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan
ajarannya)[2]
Kaharingan
berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang
akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang
dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan
mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang,
Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama, Agama Huran
alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama
nenek-moyang.
Kaharingan yang
sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua
jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan
Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga
kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.
Menurut
kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa
tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan
berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa
tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying
Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan
Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah
disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah
rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya
atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual
kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Sebagai
kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar
adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun
temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat
ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci),
Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan
Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku
Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan..
Kaharingan yang
disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai
berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon
sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang
berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling
membutuhkan.
sisi yang
berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara
dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu
Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman
manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek
moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian
dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada
bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa
asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari
merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber
segala kehidupan.
Apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena
sakit, mendadak atau karena mengalami kecelakaan, maka dengan seketika mereka,
baik keluarga maupun keluarga terdekat akan berdaya upaya menyebarkan berita
kematian itu kepada seluruh
masyarakatnya secara luas.
Ada suatu
tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian dengan suara garantung atau gong. Ketika ajal
menjelang, jiwa terpisah dari raga, kepergian atau terlepasnya jiwa menuju alam
lain diiringi dengan suara bamba atau titih, yaitu garantung atau gong dipalu
tiga kali, dilanjutknan suara tiga buah gong yang dipalu bersaut-sautan
diiringi karuau atau jerit tangis kaum
ibu. Suara yang terdengar mampu menciptakan suasana mencekam, hati tersayat
nyeri bak tertusuk sembilu. Suara gong
ditalu kuat atau keras, namun dengan irama pelan, gong . . .gong . . .gong . . . selama kurang
lebih setengah jam.
Apabila berita
duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai dari mulut ke mulut
ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang bertalu-talu, dengan
spontan penduduk kampung bereaksi menunjukan perhatian dan kepeduliannya kepada
warganya yang sedang menerima cobaan. Sekalipun sedang bekerja di ladang, di
rumah, di perahu, di hutan atau di manapun mereka berada, apabila suara titih
atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan yang sedang dilakukan
ditinggalkan begitu saja, berduyun-duyun mendatangi rumah duka, untuk
memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kedatangan
mereka ke rumah duka dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi hasil
usaha sendiri. Di rumah duka, setelah
datang mendekati dan melihat wajah jenazah
untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui keluarga yang ditinggalkan
untuk menyatakan dukacitanya, biasanya mereka bekerja bahu membahu, dengan cara
gotong royong melakukan sesuatu untuk meringankan beban keluarga yang
ditinggalkan.
Ada penduduk
yang tanpa komando, langsung
mengumpulkan kayu bakar, menyediakan tungku tempat masak memasak, menggelar tikar, dan banyak kegiatan yang
dengan iklas mereka lakukan. Di
rumah duka mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana duka, tidak membuat kegaduhan, bicara pelahan, tanpa menunjukkan
kegembiraan.
Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh
kaum kerabat dan keluarga. Peti jenazah
dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung, kakurung, runi, atau
lainnya , yang disesuaikan dengan kemampuan atau persyaratan adat. Pembuatan
peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong, pada saat itu juga. Peti mati
yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati yang dibuat dari batang pohon yang dibelah dua dan di bagian tengah dikerok
untuk tempat meletakkan jenazah.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar