Kamis, 09 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUKU DAYAK



A.    Asal Usul Orang Dayak
Suku Dayak adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung Menurut sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.[1]
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan
B.     Mite dan Magi orang Dayak
1.      Suku dayak mempunyai The Ghost Warrior, atau dalam bahasa Indonesia dapat di artikan prajurit hantu dan seperti itu lah yang mereka ketahui tentang suku dayak. The Ghost Warrior is pangkalima burung atau penglima burung. Perawakan panglima burung yang masih misterius bagi masyrakat Indonesia menjadikan pangkalima burung bak prajurit hantu yang siap menyerang siapa saja yang melecehkan suku dayak untuk melindungi tanah borneo.
2.      Humans With Full Tattoo
      Di mata dunia, tato pada suku dayak yang ada hampir menyelimuti tubuh suku dayak adalah sebuah karya seni. Sepertinya perlu di koreksi bahwa tidak semua masyarakat suku dayak mentatto seluruh tubuhnya. Tapi jika dikaitkan dengan judul tulisan ini, maka bisa saja menjadi menyeramkan jika semua suku dayak mentatto seluruh tubuhnya dan anda hidup di lungkungan dengan manusia yang semuanya penuh tatto.
C.     Struktur Keagamaan Orang Dayak (Faham Kaharingan dan ajarannya)[2]
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang,  Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama,  Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang.
Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.
Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan..
Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
 Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
D.    Upacara Adat Kematian dan Penguburan Orang Dayak (Dayak Benuaq, Kanaytan, Ngaju, Maanyaan)
Apabila terjadi kematian dalam suatu keluarga Suku Dayak, baik karena sakit, mendadak atau karena mengalami kecelakaan, maka dengan seketika mereka, baik keluarga maupun keluarga terdekat akan berdaya upaya menyebarkan berita kematian itu kepada seluruh  masyarakatnya secara luas.
Ada suatu tradisi dalam masyarakat, mengiringi kematian dengan  suara garantung atau gong. Ketika ajal menjelang, jiwa terpisah dari raga, kepergian atau terlepasnya jiwa menuju alam lain diiringi dengan suara bamba atau titih, yaitu garantung atau gong dipalu tiga kali, dilanjutknan suara tiga buah gong yang dipalu bersaut-sautan diiringi karuau  atau jerit tangis kaum ibu. Suara yang terdengar mampu menciptakan suasana mencekam, hati tersayat nyeri bak tertusuk sembilu. Suara gong  ditalu kuat atau keras, namun dengan irama pelan,  gong . . .gong . . .gong . . . selama kurang lebih setengah jam.
Apabila berita duka telah tersebar, yang disebarkan dengan cara berantai dari mulut ke mulut ataupun karena mendengar suara bamba atau titih gong yang bertalu-talu, dengan spontan penduduk kampung bereaksi menunjukan perhatian dan kepeduliannya kepada warganya yang sedang menerima cobaan. Sekalipun sedang bekerja di ladang, di rumah, di perahu, di hutan atau di manapun mereka berada, apabila suara titih atau berita kematian mereka dengar, segala kegiatan yang sedang dilakukan ditinggalkan begitu saja, berduyun-duyun mendatangi rumah duka, untuk memberikan dukungan moral bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kedatangan mereka ke rumah duka dengan membawa sumbangan duka berupa hasil bumi hasil usaha sendiri.  Di rumah duka, setelah datang mendekati dan melihat wajah jenazah  untuk terakhir kali, mereka mencoba menemui keluarga yang ditinggalkan untuk menyatakan dukacitanya, biasanya mereka bekerja bahu membahu, dengan cara gotong royong melakukan sesuatu untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.
Ada penduduk yang tanpa komando,  langsung mengumpulkan kayu bakar, menyediakan tungku tempat masak memasak,  menggelar tikar, dan banyak kegiatan yang dengan iklas mereka lakukan. Di rumah duka mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan suasana duka,  tidak membuat kegaduhan,  bicara pelahan, tanpa menunjukkan kegembiraan.
Jenazah diletakkan di tengah-tengah rumah, dan dikelilingi oleh kaum kerabat dan keluarga. Peti jenazah  dibuat saat itu juga, bisa dalam bentuk raung, kakurung, runi, atau lainnya , yang disesuaikan dengan kemampuan atau persyaratan adat. Pembuatan peti mati dilaksanakan dengan cara gotong royong, pada saat itu juga. Peti mati yang umum dipakai ialah raung, yaitu peti mati yang dibuat dari batang pohon  yang dibelah dua dan di bagian tengah dikerok untuk tempat meletakkan jenazah.[3]


[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
[2] https://m.facebook.com/.../kaharingan...dayak.../6367
[3] http://humabetang.web.id/artikel-dayak/2013/upacara-kematian-dalam-suku-dayak-ngaju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar