A. Sejarah
perkembangan kepercayaan Waktu-Telu
Aliran Waktu-Telu adalah
salah satu bentuk faham dalam Islam yang Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di
beberapa wilayah di Indonesia ada pula yang menjalankan praktek ajaran Islam
sebagaimana di lakukan di Lombok itu, tapi tidak pernah disebut sebagai
Waktu-Telu.
Di sebut penganut Waktu-Telu
karena ajarannya yang menyebutkan sumber segala sesuatu yang mereka perbuat
berasal dari tiga pokok, yaitu usul, tasawuf dan fiqh, meskipun dalam
prakteknya mereka kurang sekali mempraktekan fiqih.
Ada pula yang disebut
dengan pe Minsip, seseorang pemangku adat di sembalun mengatakan Istilah
Waktu-Telu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Istilah tersebut
digunakan pada pelaksanaan upacara penanaman padi yang berkisar tanggal tiga
atau tiga waktu tertentu, yakni Tanggal 5 Syafar dilakukan penurunan bibit padi
dari lumbung. Bibit padi itu disiram lebih dulu dengan air yang di ambil dari
sumur zamzam yakni atas sebuah mata air.
Sementara pemahaman yang
berkembang di daerah bayan, Lombok
Barat, disebut waktu telu karena pada diri manusia itu ada tiga sidat hasil ‘’perasaan’’
dari 20 sifat Allah yang di Lombok di sebut
‘’sifat due pulu‘’ yakni sifat-sifat dari Allah, sifat- sifat adam dan
sifat Hawa.
B. Pokok-Pokok
Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
Sampai saat ini, komunitas Waktu
Telu terletak di kawsan Tanjung dan beberapa desa di kecamatan Bayan seperti
Loloan, Anyar, Akar-akar, dan Mumbul Sari. Sedangkan dusun-dusunnya memusat di
Senaru, Barung Birak, Jeruk Manis, Dasan Tutul, Nangka Rempek, Semongka dan
Lendang Jeliti. Bahkan sisa-sisa kepercayaan kepada suatu benda masih tersisa
sampai sekarang.
Pada
prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke dalam dua bentuk
perwujudan yaitu[1].
1.
Penghormatan Terhadap Roh
Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu
adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda
tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan.
Menyangkut Roh leluhur, mereka percaya bahwa Adam dan Hawa merupakan asal usul
nenek moyang kita.
2.
Penyelenggaraan Upacara Tertentu
Banyak bentuk ritual yang dihayati
dan dijalankan oleh komunitas Islam Wetu Telu, antara lain.
I.
Perayaan Hari besar Islam
2. Roah
Wulan dilaksanakan pada bulan Sya’ban
3.Selamatan
Qunut dilaksanakan pada bulan Ramadhan
4. Maleman
Likuran dilaksanakan pada bulan Ramadhan
5. Malaman
Fitrah dilaksanakan pada bulan Ramadhan
6. Lebaran
Topat dilaksanakan pada bulan Syawal
7. Qulhu Sataq dilaksanakan pada bulan Syawal dan lain sebagainya.
C. Waktu,
tempat berdiri dan Perkembangannya
Mengenal kapan faham
Waktu-Telu ini muncul sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya
Islam di Lombok. Hl ini terlihat dari apa yang mereka praktekan dalam
peribadatan sehari-hari. Disatu sisi mereka menjalankan praktek ajaran Islam, tetapi pada sisi yang lain
mereka mereka begitu kuat berpegang pada ajaran yang diwariskan oleh nenek
moyangnya. Jadi, jika ada anggapan bahwa pengikut waktu telu ini adalah pemeluk
Islam yang belum menyempurnakan praktek ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran
Islam yang sesuai dengan al-Quran dan sunah Nabi tergambar pada campur aduknya
berbagai kepercayan lama dengan ajaran Islam.
Sebelum Islam masuk ke
Lombok, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha yang bercampur
dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal
pergi ke gunung Rinjani. Roh itu bisa kembali pada waktu-waktu tertentu atau
bila diperukan kerumah anak cucu atau keluarganya yang lain. Dalam suasana
pemahaman seperti itulah Islam masuk pertama kali ke Lombok.
D. Konsepsi
kepercayaan Islam WaktuTelu
Cara
berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena
struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar,
apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya.
Sifat gotong royong dan sifat social masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat
pada beberapa praktek kehidupan mereka seperti:
·
Melakukan perbaikan rumah atau membangun rumah baru,
harus dikerjaka nsecara gotong royong.
·
Aneka bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara
gotong royong.
·
Pemberian makanan kepada pengemis atau salah seseorang
tetangga yang kelaparan didasarkan bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi
makanan yang ada meskipun makanan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
·
Segala sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan
semata yang tidak boleh mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka
kepada tuhan.
·
Semua harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan
milik bersama.
Sifat-sifat
dan norma tersebut disebutnya sebagai ajaran agama nenek moyannya yang kemudian
diwariskan kepada mereka yang harus ditanamkan pada jiwa dan kehidupan anak cucunya
Masyarakat
waktu telu tinggal di kampung-kampung yang berpencar dan disetiap kampong terdapat
kelompok-kelompok, yang masing-masing kelompok beranggotakan sekitar sepuluh kepala
keluarga yang tinggal didalam rumah-rumah yang dibuat berjajar secara teratur.
Setiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab penuh terhadap
kehidupan dan tingkah laku anggota kelompoknya. Misalnya jika pekerjaan yang
dilakukan secara terpaksa karena tidak ada pekerjaan, maka yang salah adalah ketua
kelompoknya karna tidak memberikan/menyediakan lapangan pekerjaan bagi anggotanya[2].
E. InteraksiKepercayaan Orang Lombok dengan
agama-agama lain
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan
terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat.
Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup
dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Masyarakat terdiri
atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat
mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia merupakan pusaran tempat
nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga
individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan
kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan diperoleh.[3]
Daftar pustaka
m.dream.co.id/jejak/menelusuri-jejak-islam-wetu-telu-di-lombok-1508127.html
Muhamad
Harfin Zuhdi, parokialitas adat wetu twlu di bayan (, Jakarta 2012).
Soejono, sejarah nasional
Indonesia, ( balai pustaka 2008 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar