Rabu, 08 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUKU LOMBOK



A.    Sejarah perkembangan kepercayaan Waktu-Telu
Aliran Waktu-Telu adalah salah satu bentuk faham dalam Islam yang Khas dan hanya terdapat di Lombok. Di beberapa wilayah di Indonesia ada pula yang menjalankan praktek ajaran Islam sebagaimana di lakukan di Lombok itu, tapi tidak pernah disebut sebagai Waktu-Telu.
Di sebut penganut Waktu-Telu karena ajarannya yang menyebutkan sumber segala sesuatu yang mereka perbuat berasal dari tiga pokok, yaitu usul, tasawuf dan fiqh, meskipun dalam prakteknya mereka kurang sekali mempraktekan fiqih.
Ada pula yang disebut dengan pe Minsip, seseorang pemangku adat di sembalun mengatakan Istilah Waktu-Telu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Istilah tersebut digunakan pada pelaksanaan upacara penanaman padi yang berkisar tanggal tiga atau tiga waktu tertentu, yakni Tanggal 5 Syafar dilakukan penurunan bibit padi dari lumbung. Bibit padi itu disiram lebih dulu dengan air yang di ambil dari sumur zamzam yakni atas sebuah mata air.         
Sementara pemahaman yang berkembang di daerah bayan,  Lombok Barat, disebut waktu telu karena pada diri manusia itu ada tiga sidat hasil ‘’perasaan’’ dari 20 sifat Allah yang di Lombok di sebut  ‘’sifat due pulu‘’ yakni sifat-sifat dari Allah, sifat- sifat adam dan sifat Hawa.
B.     Pokok-Pokok Kepercayaan dan Upacara Keagamaan
            Sampai saat ini, komunitas Waktu Telu terletak di kawsan Tanjung dan beberapa desa di kecamatan Bayan seperti Loloan, Anyar, Akar-akar, dan Mumbul Sari. Sedangkan dusun-dusunnya memusat di Senaru, Barung Birak, Jeruk Manis, Dasan Tutul, Nangka Rempek, Semongka dan Lendang Jeliti. Bahkan sisa-sisa kepercayaan kepada suatu benda masih tersisa sampai sekarang.
Pada prinsipnya bentuk ritual Wetu Telu dapat disederhanakan ke dalam dua bentuk perwujudan yaitu[1].
1.      Penghormatan Terhadap Roh
            Keyakinan komunitas Islam Wetu Telu adalah percaya kepada makhluk halus yang bersemayam pada benda mati atau benda tertentu atau memiliki kekuatan tetapi tunduk di hadapkan kekuatan Tuhan. Menyangkut Roh leluhur, mereka percaya bahwa Adam dan Hawa merupakan asal usul nenek moyang kita.
2.      Penyelenggaraan Upacara Tertentu
            Banyak bentuk ritual yang dihayati dan dijalankan oleh komunitas Islam Wetu Telu, antara lain.
I. Perayaan Hari besar Islam
2. Roah Wulan dilaksanakan pada bulan Sya’ban
3.Selamatan Qunut dilaksanakan pada bulan Ramadhan
4. Maleman Likuran dilaksanakan pada bulan Ramadhan
5. Malaman Fitrah dilaksanakan pada bulan Ramadhan
6. Lebaran Topat dilaksanakan pada bulan Syawal
7. Qulhu Sataq dilaksanakan pada bulan Syawal dan lain sebagainya.
C.    Waktu, tempat berdiri dan Perkembangannya
Mengenal kapan faham Waktu-Telu ini muncul sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya Islam di Lombok. Hl ini terlihat dari apa yang mereka praktekan dalam peribadatan sehari-hari. Disatu sisi mereka menjalankan praktek  ajaran Islam, tetapi pada sisi yang lain mereka mereka begitu kuat berpegang pada ajaran yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Jadi, jika ada anggapan bahwa pengikut waktu telu ini adalah pemeluk Islam yang belum menyempurnakan praktek ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran Islam yang sesuai dengan al-Quran dan sunah Nabi tergambar pada campur aduknya berbagai kepercayan lama dengan ajaran Islam.
Sebelum Islam masuk ke Lombok, mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu dan Buddha yang bercampur dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa roh orang yang meninggal pergi ke gunung Rinjani. Roh itu bisa kembali pada waktu-waktu tertentu atau bila diperukan kerumah anak cucu atau keluarganya yang lain. Dalam suasana pemahaman seperti itulah Islam masuk pertama kali ke Lombok.     
D.     Konsepsi kepercayaan Islam WaktuTelu
Cara berfikir penganut islam waktu telu itu masih sangat sederhana, barangkali karena struktur masyarakatnya yang terisolir dan tidak mudah menerima pengaruh dari luar, apabila jika menyangkut adatistiadat dan agama yang mereka terima dari nenek moyangnya. Sifat gotong royong dan sifat social masih melekat kuat pada diri mereka.Ini terlihat pada beberapa praktek kehidupan mereka seperti:
·         Melakukan perbaikan rumah atau membangun rumah baru, harus dikerjaka nsecara gotong royong.
·         Aneka bercocok tanam di sawah dan lading dikerjakan secara gotong royong.
·         Pemberian makanan kepada pengemis atau salah seseorang tetangga yang kelaparan didasarkan bukan karna kelebihan makanan, tetapi membagi makanan yang ada meskipun makanan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri.
·         Segala sesuatu yang mereka miliki merupakan titipan tuhan semata yang tidak boleh mereka sayangi dan cintai melebihi sayang dan cinta mereka kepada tuhan.
·         Semua harta benda yang mereka miliki seakan-akan merupakan milik bersama.
Sifat-sifat dan norma tersebut disebutnya sebagai ajaran agama nenek moyannya yang kemudian diwariskan kepada mereka yang harus ditanamkan pada jiwa  dan kehidupan anak cucunya
Masyarakat waktu telu tinggal di kampung-kampung yang berpencar dan disetiap kampong terdapat kelompok-kelompok, yang masing-masing kelompok beranggotakan sekitar sepuluh kepala keluarga yang tinggal didalam rumah-rumah yang dibuat berjajar secara teratur. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua yang bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan dan tingkah laku anggota kelompoknya. Misalnya jika pekerjaan yang dilakukan secara terpaksa karena tidak ada pekerjaan, maka yang salah adalah ketua kelompoknya karna tidak memberikan/menyediakan lapangan pekerjaan bagi anggotanya[2].
E.      InteraksiKepercayaan Orang Lombok dengan agama-agama lain
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu sebab ia merupakan pusaran tempat nilai-nilai, barang-barang. Atau pun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu lah seluruh nilai material suatu peradapan diperoleh.[3]

Daftar pustaka
            m.dream.co.id/jejak/menelusuri-jejak-islam-wetu-telu-di-lombok-1508127.html
            Muhamad Harfin Zuhdi, parokialitas adat wetu twlu di bayan (, Jakarta 2012).
            Soejono, sejarah nasional Indonesia, ( balai pustaka 2008 )


                [1] Muhamad Harfin Zuhdi, parokialitas adat wetu twlu di bayan (, Jakarta 2012). Hal.59
                [2] m.dream.co.id/jejak/menelusuri-jejak-islam-wetu-telu-di-lombok-1508127.html
                [3] Soejono, sejarah nasional Indonesia, ( balai pustaka 2008 ), h.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar