Agama Tradisioanl Sunda Wiwitan
A.
Asal-usul Sunda Wiwitan
Mencermati asal-usul agama sunda wiwitan terlebih
dahulu perlu dilacak sejarah dan awal lahirnya agama sunda wiwiwtan. Tokoh atau
pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya
Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais.
Sunda Wiwitan adalah agama masyarakat Baduy dalam menghormati roh
karuhun, nenek moyang.[1]
Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita
Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda.
Sunda Wiwitan adalah agama
atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme
dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan tetapi ada
sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur
monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya
terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang
Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi
Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan
Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama
oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
B.
Pendiri dan Tokoh-Tokohnya
Adapun pendiri dan tokoh daru Suku Naulu adalah
sebagai berikut:
1.
Madrais (1833-1939),
selaku pendiri dan sebagai “Rama Pencipta”.
2.
Tejabuana, anak
Madrais sebagai “Rama Pangwedar” atau “Rama Penerus”.
3.
Jatikusuma, menantu
tejabuana sebagai “Rama Penyusun”.
4.
Subagyaharja,
sebagai “Rama Penyalur”.
C.
Pokok-Pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
Dasar religi
masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat
monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu
kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara
Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala
(Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi,
konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan
kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti,
Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia
melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang
Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.[2]
Pokok-pokok ajaran
kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais
sebagai berikut:
a)
Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa).
b)
Ngaji Badan (intropeksi/retropeksi diri).
c)
Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan
sesama).
d)
Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat).
e) Hirup kudu silih
tulungan (hidup harus tolong menolong).
Dalam ajaran
kepercayaan Sunda Wiwitan ada yang disebut dengan sahadat buhun. Masyarakat Sunda Tradisional mengenal adanya
Sahadat atau Sadat Buhun, suatu istilah bagi sebutan kalimat sakral yang
diyakini sebagai bagian dari tertibhidup Budaya Sunda Wiwitan. Namun ada juga
yang menyebutnya Sahadat Baduy, karena sahadat ini banyak di gunakan oleh
orang-orang Baduypenganut ajaran Sunda Wiwitan. Para Sastrawan Sunda
menggolongkan Sahadat ini kedalam kelompok Ajimantra ataupuisi mantra, yang
berasal dari dua daerah, yakni Ajimantra Baduy Banten dan Ajimantra Priangan.
Pengertian Sahadat Buhun itu berbeda dengan maksud Sahadat (Syahadat) yang
dimaksudkan dalam agaman Islam.
Didalam kamus
bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti: (1) pengakuan kesaksian (2)
pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama. Didalam
Wikipedia edisi Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat mangrupakeun pernyataan
kayakinan Islam. Dina basa Arab, hartina nyaksenan atawa mere kasaksian.
Sahadat mangrupakeun pernyataan kapercayaan kana tunggalna Gusti (Allah dina basa
Arab) sarta yen Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi Wasallam minangka utusan
pangahirna.
Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan.
Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan.
Seperti keterangan
Ayah Mursid, seorang tokoh masyarakat Cibeo:
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’ado’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan adakramanya”[3]
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’ado’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan adakramanya”[3]
D.
Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
1.
Tanggan satu Sura,
merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga merupakan
hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2.
Saresehan yang
secara rutin diadakan seminggu sekali.
3.
Upacara peringatan
Maulid Nabi.
4. Upacara menubuk padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki
makna tersendiri bagi mereka. Yakni, sebagai penghormatan pada Dewi Sri yang
bakal kehidupan manusia.
5. Dalam
ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan
kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran
panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan
Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren
Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah
dan dihadiri oleh ribuan orang.[4]
6. Upacara kematian, adapun ritualnya adalah sebagai berikut:
a)
Upacara kematian
Dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap
b)
Dimasukkan peti
berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
c) Dibagi dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga
benda-benda yang dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang
dimaksudkan melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati,
kapur dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih
hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras
sebagai bahan makanan sehari-hari.
E.
Interaksi Kepercayaan Sunda Wiwitan dengan Agama-agama
Lain
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian,
sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran
keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini
disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang
Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha,
melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh
unsur-unsur ajaran Hindu, dan
hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita
Parahyangan kepercayaan ini
disebut sebagai ajaran "Jatisunda".[5]
Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan
terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka
yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam
komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan
Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa
Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran
Seureun Papan.
[2]http://sundavhie.blogspot.co.id/2012/05/sistem-kepercayaan-suku-sunda.html, diakses pada tangga 13-05-2016
[3]https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=590977534266558&id=427770123920634, diakses pada tangga 19-05-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar