Rabu, 08 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUNDA WIWITAN



Agama Tradisioanl Sunda Wiwitan
A.    Asal-usul Sunda Wiwitan
Mencermati asal-usul agama sunda wiwitan terlebih dahulu perlu dilacak sejarah dan awal lahirnya agama sunda wiwiwtan. Tokoh atau pendiri dari agama sunda wiwitan adalah pangeran Sadewa Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat atau lebih dikenal sebagai Kyai Madrais.
Sunda Wiwitan adalah agama masyarakat Baduy dalam menghormati roh karuhun, nenek moyang.[1] Wiwitan berarti jati, asal, pokok, pemula, pertama. Sunda Wiwitan dalam Carita Parahiyangan disebut kepercayaan Jati Sunda.
 Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

B.     Pendiri dan Tokoh-Tokohnya
Adapun pendiri dan tokoh daru Suku Naulu adalah sebagai berikut:
1.      Madrais (1833-1939), selaku pendiri dan sebagai “Rama Pencipta”.
2.      Tejabuana, anak Madrais sebagai “Rama Pangwedar” atau “Rama Penerus”.
3.      Jatikusuma, menantu tejabuana sebagai “Rama Penyusun”.
4.      Subagyaharja, sebagai “Rama Penyalur”.

C.    Pokok-Pokok Ajaran Kepercayaan Agama Sunda Wiwitan
    Dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep buana bagi orang Baduy berkaitan dengan titik awal perjalanan dan tempat akhir kehidupan.[2]
Pokok-pokok ajaran kepercayaan agama sunda wiwitan terekspresikan pada pemikiran Ki Madrais sebagai berikut:
a)      Percaya Ka Gusti Sikang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa).
b)      Ngaji Badan (intropeksi/retropeksi diri).
c)      Akur Rukun Jeng Sasama Bangsa (hidup rukun dengan sesama).
d)     Hirup ulah misah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat).
e)      Hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong menolong).

            Dalam ajaran kepercayaan Sunda Wiwitan ada yang disebut dengan sahadat buhun.  Masyarakat Sunda Tradisional mengenal adanya Sahadat atau Sadat Buhun, suatu istilah bagi sebutan kalimat sakral yang diyakini sebagai bagian dari tertibhidup Budaya Sunda Wiwitan. Namun ada juga yang menyebutnya Sahadat Baduy, karena sahadat ini banyak di gunakan oleh orang-orang Baduypenganut ajaran Sunda Wiwitan. Para Sastrawan Sunda menggolongkan Sahadat ini kedalam kelompok Ajimantra ataupuisi mantra, yang berasal dari dua daerah, yakni Ajimantra Baduy Banten dan Ajimantra Priangan. Pengertian Sahadat Buhun itu berbeda dengan maksud Sahadat (Syahadat) yang dimaksudkan dalam agaman Islam.
            Didalam kamus bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti: (1) pengakuan kesaksian (2) pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama. Didalam Wikipedia edisi Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat mangrupakeun pernyataan kayakinan Islam. Dina basa Arab, hartina nyaksenan atawa mere kasaksian. Sahadat mangrupakeun pernyataan kapercayaan kana tunggalna Gusti (Allah dina basa Arab) sarta yen Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi Wasallam minangka utusan pangahirna.
Perbedaan antara Sahadat di dalam agama Islam dengan Sahadat Buhun diakui pula oleh penganut agama Sunda Wiwitan.
            Seperti keterangan Ayah Mursid, seorang tokoh masyarakat Cibeo:
Sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi do’ado’a atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan adakramanya”[3]

D.    Upacara Keagamaan Agama Sunda Wiwitan
1.  Tanggan satu Sura, merupakan tahun bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus juga merupakan hari raya bagi warga Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang atau ADS.
2.   Saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali.
3.   Upacara peringatan Maulid Nabi.
4.   Upacara menubuk padi yang dilakukan pada 22 Djulhijjal. Upacara memiliki makna tersendiri bagi mereka. Yakni, sebagai penghormatan pada Dewi Sri yang bakal kehidupan manusia.
5.   Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang.[4]
6.      Upacara kematian, adapun ritualnya adalah sebagai berikut:
a)      Upacara kematian Dibungkus dengan kain hitam, yang berarti kematian itu memasuki alam yang gelap
b)      Dimasukkan peti berkayu jati yang berarti manusia telah pulang kea lam yang sejati
c)      Dibagi dalam peti kayu jati disempan arang, kapur dan beras. Ketiga benda-benda yang dimasukkan kedalam peti ini mempunyai makna tersendiri, arang dimaksudkan melumpuhkan roh atau makhluk halus yang berada di dalam kayu jati, kapur dimaksudkan untuk mencegah agara mayatnya tidak diganggu orang yang masih hidup, beras dimaksukan bahwa hidup manusia sangat tergantung pada beras sebagai bahan makanan sehari-hari.

E.     Interaksi Kepercayaan Sunda Wiwitan dengan Agama-agama Lain
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".[5]
Masuknya agama Islam ke tatar Sunda menyebabkan terpisahnya komunitas penganut ajaran Sunda Wiwitan yang taat dengan mereka yang menganut Islam. Masyarakat penganut Sunda Wiwitan memisahkan diri dalam komunitas yang khas di pedalaman Kanekes ketika agama Islam memasuki kerajaan Pakuan Pajajaran. Hal ini dapat ditemukan dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.



                        [1]Permana, R dan Cecep Eka, Tata Ruang Masyarakat Baduy, ( Jakarta: Wedatama         Widya Sastra, 2006), h. 37
[4]https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan, diakses pada tangga 13-05-2016
[5]https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan, diakses pada tangga 13-05-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar