Kamis, 09 Juni 2016

LAPORAN OBSERVASI BANTEN (BADUY)



A.    PROFIL SUKU BADUY DESA KANEKE
1.      LETAK GEOGRAFIS
Suku Baduy terletak di daerah Banten, secara geografis suku Baduy terletak pada kordinat 6°27’27”-6°30’0” LS dan 108°3’9”-106°4’55” BT, suku Baduy bermukim tepatnya di kaki gunung kendeng didesa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.suhu rat - rata disana adalah 20 °C dan tiga desa utamanya adalah cikeusik, cibeo, cikertawana.
Dilihat dari segi geografisnya memang suku Baduy ini jauh dari tempat-tempat umum dan terletak dekat gunung sehingga menyebabkan orang kenakes lebih menutup diri terhadap dunia luar seperti tidak mau belajar baca tulis, mengenal teknologi, dan hanya berpegang teguh terhadap kepercayaan dan adat istiadat yang mereka anut.
Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana.Dan terbagi atas Baduy luar dan Baduy dalam.Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman Baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut. Dan terbagi ke dalam 65 kampun, 3 kampung di Baduy dalam dan  62 di baduy luar dengan jumlah 65 RT, dan jumlah penduduk mencapai 3.460 jiwa.
Persatuan dan kesatuan orang Baduy sangat baik karena orang Baduy mempunyai Prinsip gotong royong jika dalam bahasa sunda disebut rereongan. Gotong royong dalam hal ini contohnya dalam pembangunan rumah, pendapatan hasil alam, lalu dari hasil itu ditabung bersama-sama dan masuk ke dalam kas desa.[1]
Dalam masyarakat Baduy luar maupun Baduy dalam dikenal dengan yang namanya rukun agama yaitu yang membedakan Baduy luar dan Baduy dalam daricaraberpakaian. Baduy luar lebih dominan memakai pakaian hitam dengan ikat kepala berwarna biru, sedangkan Baduy dalam lebih dominan memakai baju putih dengan ikat kepala berwarna putih pula.
Agama kepercayaan orang Baduy yaitu sunda wiwitan atau yang mereka sebut dengan slam sunda wiwitan. Disebut Islam Sunda Wiwitan karena orang Baduy pun membaca 2 kalimat syahadat seperti halnya dalam Islam tetapi agak berbeda. Adapun sistem peradatan yang ada di Baduy luar maupun dalam memiliki perbedaan yaitu dilihat dari sistem adatnya, Baduy dalam lebih mengedepankan sistem peradatan.Berbeda dengan Baduy luar yang masih menjalankan sistem adat, tetapi lebih condong kepada sistem pemerintahan.Jaro berperan sebagai orang yang menjembatani kebutuhan orang Baduy dalam, dan sebagai penghubung ke pemerintah.Biasanya seorang Jaro berasal dari Baduy luar dan lebih mengikuti sistem pemerintahan tetapi tidak juga meninggalkan sistem adat yang berlaku di Baduy.[2]
2.      ASAL-USUL
Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.Yang mana kepercayaan ini meyakini akanadanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak menggunakan listrik,tembok, mobil dll.
Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda.Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.[3]
Ada versi lain dari sejarah Suku Baduy, dimulai ketika Kian Santang Putra Prabu Siliwangi pulang dari Arabia setelah berislam di tangan Sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk Islamdan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah Baduy tersebut berganti namadengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di Baduy dalamlah Prabu Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh Ki Saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Perkembangan masyarakat baduy pada masa kini adalah masyarakat baduy dalam sudah bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luar.Mereka juga telah mengenal teknologi tetapi tidak mereka pakai karena mereka tetap berpegang teguh pada adat istiadat yang mereka miliki.
Perbedaan Suku Baduy dalam dan Baduy luar adalah Baduydalam tidak pernah naik kendaraan kalau bepergian.Karena itu setiap kali ke Jakarta atau ke mana saja mereka harus berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki, sandal atau sepatu. Sedangkan orang Baduy Luar sudah mulai terbuka terhadap perkembangan seperti menggunakan alas kaki dan bisa naik kendaraan kalau bepergian. Orang Baduyluar bisa berobat ke Puskesmas kalau sakit, sementara orang Baduydalam dilarang.Mereka menggunakan dukun kampung untuk menyembuhkan sakit.Pola rumah tinggal yang mereka gunakan juga sudah sedikit berbeda. Baduy Dalam sama sekali dilarang untuk menggunakan paku dalam mendirikan rumah. Mereka hanya menggunakan tali untuk mengikat tiang rumah dan kerangka rumah lainnya. Sementara Baduyluar sudah bisa menggunakan paku untuk membuat rumah.
Baduy dalam biasanya tidak berinteraksi dengan masyarakat luar biasanya dengan perantara Baduy Luar, Baduy dalam pun menolak adanya benda- benda elektronik seperti hp, kamera dsb. Sedangkan Baduy Luar, mereka sudah hidup secara modern dan berinteraksi dengan masyarakat luar. Sejak dahulu Baduy dalam dan Baduy luar memang sudah terbagi.[4]

MITOLOGI SUKU BADUY
3.      KONSEP ALAM
Masyarakat Baduy hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupan secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat istiadatnya, serta meniti hari demi hari dengan penuh kearifan.Salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Baduy yang cukup menonjol adalah berkaitan dengan pencegahan terhadap bencana atau mitigasi bencana.  Fakta dalam masyarakat Baduy menunjukkan bahwa (1) masyarakat Baduy melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tetapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan; (2) di wilayah Baduy banyak hunian penduduk berdekatan dengan sungai, namun tidak pernah terjadi bencana banjir melanda permukiman; (3) walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu, rumbia, dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4) wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian Barat, tidak pernah terjadi kerusakan bangunan akibat bencana gempa. 
Sistem pertanian masyarakat Baduy yaitu dengan sistem pertanian berladang.Meskipun dalam bidang pertanian mereka tidak mengenal sarana dan prasarana pertanian yang modern serta hanya mengenal sistem perladangan, dimana sistem perladangan adalah sistem pertanian yang paling purba, namun mereka memiliki kearifan lokal yang sangat mengagumkan.Mereka sangat menghormati lingkungannya dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya. Mereka berprinsip bahwa jika keseimbangan tak terjaga, maka malapetaka akan datang dan akan menimpa mereka pula. Sebuah prinsip yang saat ini semakin terlepas pada diri kita yang sering menyebut “manusia modern” ini.Beberapa aktivitas bertaninya yang menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal diantaranya adalah mereka mempunyai pengetahuan yang handal tentang ilmu perbintangan.Ilmu perbintangan ini sangat penting artinya dalam dunia pertanian Baduy.Dengan melihat posisi bintang tertentu (bintang kidang dan bintang waluku), mereka bisa membaca cuaca atau musim beserta dengan perubahan-perubahannya sehingga kerugian bertani akibat perubahan cuaca dapat dihindari.Sementara itu, pada saat memulai penanaman padi di ladang, mereka tidak lupa menancapkan batang atau cabang daun pelah yang mempunyai bau khas. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah serangan hama penyakit dan hewan pengerat tikus. Batang atau cabang yang ditancapkan tersebut merupakan tempat yang sangat disukai capung dan capung-capung ini merupakan predator dan penghalau hama-hama tanaman padi.Burung-burung hantu juga sangat senang bertengger di cabang-cabang tersebut.Burung-burung hantu inilah yang menjadi predator bagi tikus-tikus ladang yang seringkali merusak tanaman padi.Setidaknya dengan keberadaan burung-burung hantu ini keseimbangan alam atau lebih khususnya populasi tikus dapat dikendalikan. Demikian juga dengan penggunaan penyubur tanaman dan pencegahan tanaman dari serangan hama penyakit. Penyubur dan pestisida terbuat dari campuran berbagai dedaunan yang ditumbuk halus dan dicampur dengan abu dapur.Semua bahan-bahan ini sangat ramah lingkungan dan bahannya tersedia di lingkungan mereka sendiri.Ini menunjukkan kemandirian mereka dalam bertani sekaligus kearifannya terhadap alam. Mereka telah mengenal dan menerapkan konsep yang disebut dengan integrated pest management atau pemberantasan hama terpadu yang dalam pertanian modern sekarang ini sangat dianjurkan. Sementara itu, jenis tanaman padi yang ditanam adalah jenis padi lokal yang merupakan hasil seleksi sendiri. Meskipun masa tanamnya lebih lama namun jenis padi lokal mempunyai kualitas lebih baik, rasa dan aroma lebih enak, lebih tahan lama jika disimpan, lebih tahan terhadap hama penyakit, dan adaptif terhadap berbagai kondisi. Ini juga suatu bentuk kemandirian mereka lainnya dalam bidang pertanian.[5]
4.      TRADISI DAN KEPERCAYAAN
Perladangan yang diterapkan di Baduy berpindah-pindah.Setiap tahun panen padi hanya satu kali saja. Lamanya masa tanam padi lima sampai enam bulan.Tanah yang ditinggal pergi oleh seorang peladang harus didiamkan dulu sebelum dijadikan lahan oleh warga lain agar kesuburannya terjaga. Jeda waktu sebelum tanah bisa ditanam lagi semakin singkat. Sekitar 10 tahun lalu tanah diistirahatkan sekitar 10 tahun, sekarang hanya didiamkan tiga sampai lima tahun. Siklus yang semakin cepat ini dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk Baduy yang berefek pada kualitas dan kuantitas produksi padi.Perpindahan ladang umumnya dilakukan setelah satu sampai dua kali panen, meskipun ada juga warga yang baru pindah ladang setelah empat kali panen. Hasil panen di tanah yang sama akan terus menurun setiap tahun. Setiap kali membuka ladang baru, ada tiga pekerjaan yang dilakukan, yaitu memangkas tumbuhan yang ada di tempat, membakar tumbuhan, dan membersihkan tanah dari benda-benda yang mengganggu perladangan.Tanah tidak dibajak demi menjaga kekuatan tanah di tanah Baduy. Setelah tanah siap, dimulailah tanam padi atau yang dikenal dengan namangaseuk. Sebelum mulai menanam padi, suku Baduy mengadakan upacara untuk memuji Dewi Sri, yang dikenal sebagai Dewi padi, agar melindungi tanah mereka.Dalam upacara ini, ada mantra-mantra yang diiringi alunan angklung dan kendang kecil (dog-dog).Pemain angklung bertugas membacakan mantra.Upacara ini wajib diadakan di setiap kampung.Warga yang mampu juga boleh mengadakan upacara ini bagi mereka masing-masing. Upacara yang diadakan setiap keluarga sifatnya tidak wajib sebab untuk upacara ini tuan rumah harus menyediakan makan dan kebutuhan lain. Masa tanam padi di kampung-kampung Baduy dimulai ketika Puun sudah menanam padi.Setelah Puun, warga mulai menanam.Beberapa warga memiliki hari baik yang mereka jadikan pegangan untuk mulai menanam padi.Setelah masa tanam warga Baduy tidak lagi mengurus huma mereka secara teratur.Mereka hanya membersihkan ladang dari tumbuhan-tumbuhan yang dapat mengurangi produksi padi.Pengairan ladang dilakukan tanpa irigasi dan hanya mengandalkan hujan. Secara umum dan garis besar, tahapan kerja bercocok tanam di ladang pada masyarakat suku Baduy adalah sebagai berikut:[6]
 a. Pertama, suatu areal hutan yang akan dibuka terlebih dahulu dibersihkan semak belukarnya, yang disebut dengan nyacar dan biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan menggunakan alat antara lain golok dan parang. Pekerjaan itu adakalanya dibantu pula oleh wanita dewasa.
b. Kedua, setelah hutan dibersihkan, kemudian dilakukan penebangan pohon-pohon besar dengan menggunakan kapak, patik atau baliung (sejenis kapak besar). 
c. Ketiga, selanjutnya ranting-ranting kayu dibakar, pembakaran hutan yang sudah ditebang pada dasarnya adalah cara untuk mempercepat proses pembusukan dan sekaligus mengarahkan proses itu sedemikian rupa sehingga zat makanan yang dilepaskan tersalur sebanyak mungkin ke dalam tanaman penghasil pangan yang sudah dipilih. Proporsi yang cukup besar dari energi mineral yang menghidupi tanaman ladang itu khususnya padipadian, lebih banyak berasal dari abu hutan yang dibakar, sehingga sempurnanya pembakaran itu merupakan faktor penting untuk menentukan hasil panen kelak, suatu kenyataan yang barangkali memang disadari oleh semua peladang.
d. Keempat, setelah areal hutan dibakar biasanya tidak langsung digarap, tetapi dibiarkan beberapa waktu lamanya sehingga tanah menjadi dingin. Ketiga, tahap berikutnya adalah penanaman benih berupa padi-padiandan biji-bijian lainnya.Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki dan wanita, pekerjaan ini disebut ngaseuk, yaitu melobangi tanah untuk menanam benih dengan aseuk (tongkat kayu dengan panjang kira-kira satu setengah meter yang ujungnya dibuat agak runcing).Selain padi, di tanah huma ditanam pula kacang-kacangan dan biji-bijian, misalnya jagung, bahkan didaerah Banten orang mulai menanam tanaman keras, seperti kelapa dan buah-buahan.Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumput-rumputan yang tumbuh.Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumputrumputan yang tumbuh di sekitar tanaman.Pekerjaan ini disebut ngoyos (menyiangi). Pada perkem-bangan selanjutnya,dalam pekerjaan ngaseuk dan ngoyos digunakan peralatan berupa cangkul dan kored (sejenis cangkul kecil).
e. Kelima, tahap kelima adalah masa panen. Pekerjaan panen biasanya dilakukan oleh wanita secara gotong-royong, sedangkan laki-laki bertugas mengangkut hasil panen ke rumah masing-masing. Pada setiap tahap dari kegiatan tersebut di atas, terutama kegiatan panen selalu disertai dengan upacara selamatan agar usaha pertanian itu tidak mengalami ganggguan atau diserang hama. Upacara itu merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap alam gaib dalam kehidupan manusia, sebagai bagian dari budaya animisme dan dinamisme.  Dalam hubungan ini masyarakat Baduy tetap mempertahankan mata pencaharian ngahuma, karena hingga kini mereka masih tetap tabu/pamali (dilarang secara adat) untuk mengolah tanah pertanian mereka dengan pola pertanian sawah. Bila dianalisa lebih jauh, hal tersebut disebabkan oleh beberapa factor. Pertama, tanah pertanian masyarakat Baduy terletak diperbukitan sehingga sulit dibuatkan irigasi.Kedua, dibalik tabu itu terkandung makna, bahwa mereka mungkin secara tidak disadari sebenarnya telah merasakan manfaat ekosistem.Itulah sebabnya huma di daerah Baduy ditanami pula dengan tanaman keras sebagai pelindung tanah, sehingga tanah pertanian mereka tetap subur.Ketiga, mereka sangat percaya terhadap alam/kekuatan gaib.Suatu areal huma biasanya diolah selama satu sampai tiga tahun.Setelah itu huma dibiarkan menjadi hutan kembali. Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima macam huma, yakni: (a) humaserang, ladang adat kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy Dalam), yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang dinas selama menjabat sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun, (c) huma tangtu, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu, (d) huma tuladan, ladang untuk keperluan upacara (seperti huma serang) di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan (e) huma panamping, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Cecep Eka Permana, 2010:52-54). Huma serang dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan huma puun, huma tangtu, lalu huma tuladan dan huma panamping.Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan masyarakat Baduy.Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkan terutama untuk keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh diperjualbelikan.Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat Baduy Tangtu dan keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara adat di wilayah panamping.Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi upacara diambil dari huma panamping.Jika keduanya gagal panen, maka padi diambil dari huma tangtu dan huma panamping. Strategi itu merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu dan serangan hama. Dengan membuka ladang yang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda, maka kegagalan panen dapat dihindari (Cecep Permana, 2010: 54-55).Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana terlihat dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang (huma).Tradisi pemilihan lahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor, sedangkan tradisi pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran hutan.[7]
Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan dan narasumber diketahui bahwa pemilihan lahan huma didasarkan atas jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng.Dari segi jenis tanahnya dapat dilihat berdasarkan warna, kandungan air dan udara, serta kandungan batu.Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah).Tanah hitam merupakan prioritas karena tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus). Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh bear karena pada tanah ini selain terdapat air, juga longgar dan terdapat banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas.Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang banyak terdapat batu).Dari segi kandungan humusnya dapat dilihat dari banyak tidaknya surubuk dan koleang. Surubuk merupakan istilah Baduy untuk menyebut humus  sebagai kandungan dalam tanah yang dapat menyuburkan tanaman, sedangkan koleang berupa daun-daun kering yang jatuh atau terdapat pada permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi masyarakat Baduy sebagai pupuk organik.Berbeda dengan jenis tanah dan kandungan humus, segi kemiringan lereng lebih berkaitan langsung dengan mitigasi bencana.Menurut para informan, dari segi kemiringan lereng orang Baduy membedakannya menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam) dan lahan cepak (lahan di tempat datar).Pilihan terbaik untuk lahan ladang adalah lahan cepak.Secara praktis lahan tersebut lebih mudah dalam pembukaan dan pengelolaan lahan.Tetapi dalam kenyataan di lapangan didapati bahwa bentukan permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar sehingga banyak ladang ditemukan pada lahan gedeng.Oleh karena itu, upaya mitigasi longsor yang dilakukan adalah dengan tidak menebang pohon-pohon besar yang terdapat di lahan tersebut.Selain itu, untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan, maka pada lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu.Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi kebakaran hutan terlihat dalam tradisi ngahuru atau ngaduruk, yakni membakar tebangan sehabis membuka ladang.Dahan, ranting, dedaunan dan rerumputan bekas potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk dibakar.Kegiatan pengonggokan ’sampah’ tersebut disebut dangdang (Baduy Panamping) atau nyampurai (Baduy Tangtu).Kegiatan yang dilakukan adalah membuat onggokan besar di tengah-tengah ladang yang diperoleh dari ’sampah’ di sekelilingnya.Kemudian tidak begitu jauh dari onggokan besar di tengah tersebut dibuat onggokan-onggokan lebih kecil mengitarinya. Di antara onggokan-onggokan tersebut tidak boleh ada ’sampah’ yang tersisa agar ketika pembakaran api tidak menjalar ke mana-mana. Demikian pula, antara anggokan-onggokan kecil ’sampah’ dan batas ladang juga harus dibuat bersih, agar api tidak menjalar ke luar ladang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau ladang milik warga lain. Awal kegiatan ngahuru atau ngaduruk ini harus berpatokan pada pertanggalan bintang.Dalam ungkapan yang diutarakan oleh Sangsang (48 tahun), informan dari kampung Cibeo (Baduy Tangtu), “gek kidang ngarangsang kudu ngahuru”, yang artinya lebih kurang adalah “jika melihat bintang kidang (waluku) seperti pada posisi matahari pagi, maka waktunya mulai membakar sisa-sisa tebangan di ladang”. Daerah Baduy saat membakar onggokanonggokan ’sampah’ ladang tersebut seolah-olah sedang terjadi kebakaran hutan, karena asap mengepul di mana-mana. Walaupun demikian, pada saat kegiatan ini tidak pernah terjadi kebakaran hutan. Selama pembakaran selalu dijaga agar api tidak merambat kemana-mana. Bila akan ditinggalkan harus dipastikan bahwa api dan bara telah benar-benar padam. Abu sisa pembakaran ini dibiarkan tertinggal pada lapisan atas tanah sebagai pupuk sambil menunggu hujan tiba.Tradisi Baduy juga mengajarkan bahwa dalam perladangan dilarang (buyut) menggunakan peralatan pacul apalagi bajak.Alat-alat tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi terbolak-balik dan permukaan tanah berubah. Terbolak-balik dan berubahnya permukaan tanah diyakini akan berdampak pada ketidakstabilan permukaan tanah dan dapat mengakibatkan tanah longsor. Oleh karena itu, dalam tradisi menanam benih padi di ladang hanya menggunakan tongkat kayu (tugal) yang disebut aseuk.Kegiatan menugal atau membuat lubang-lubang kecil untuk memasukkan benih padi tersebut disebut ngaseuk. Permukiman dimasyarakat baduy ditentukan oleh Puun, bangunan yang akan didirikan harus sesuai dengan struktur tanah dan letak topografi daerah tersebut. Kondisi rumah, bentuk rumah, susunan ruangan sudah disesuaikan dengan ketentuan adat.Walaupun mereka memiliki tanah tetapi mereka tidak boleh mendirikan bangunan secara sembarangan tanpa ada perijinan dari ketua adat terlebih dahulu. Sebelum mereka mendirikan rumah lahan yang akandigunakan harus diterawang oleh ketua adat, apakah lokasi tersebut sudah cocok atau tidak untuk mendirikan rumah.
5.      ARSITEKTUR BANGUNAN
Bentuk bangunan permukiman masyarakat Badui rata-rata memiliki bentuk yang sama yaitu ruangan rumah dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (a) Teras (sasoro); (b) Ruang tengah (depas); (c) Dapur (imah) Bentuk arsitektur bangunan rumah dan bangunan lainnya dikaitkan dengan kondisi lingkungan seperti:
a.          Atap terbuat dari daun aren (kirey) dan ijuk, berfungsi untuk menghindari ruangan dalam rumah saat hujan turun agar air tidak masuk kedalam rumah dan dapat langsung terkena sinar terik matahari sehingga ruangan dari rumah terhindar dari kelembapan.
b.          Tiang terbuat dari kayu mahoni, karena kayu mahoni termasuk kayu yang paling kuat sehingga mengantisipasi agar rumah tidak cepat roboh dan tahan terhadap bencana alam seperti angin, air hujan, dan gempa.
c.          Dinding rumah terbuat dari bambu (dalam bentuk anyaman). Bambu termasuk tumbuhan yang elastis sehingga mudah dijadikan penutup rumah Fungsinya tahan terhadap angin dan memberikan efek sejuk di dalam rumah. [8]
Selain itu bentuk bagunan masyarakat Baduy rata-rata memiliki bentuk yang sama, hal ini menunjukkan kesederhanaan didalam lingkungan masyarakat. Bentuk permukiman dari tiap-tiap rumah saling berkelompok sesuai dengan topografi yang ada. Letak permukimannya berada di pinggir sungai .Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Baduy dalam mendirikan bangunan masih tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu, bambu, ijuk dan rumbia. Rumah panggung ini mempunyai ukuran yang hampir sama. Menurut Sarpin (42 tahun) warga kampung Balimbing (Baduy Panamping) tentang rumah yang sama dan sederhana tersebut: “...kudu sarua ulah aya anu luhur handapan hirup sadarahana...” (yang maksudnya: harus sama tidak boleh ada yang tinggi atau rendah dan hidup dalam kesederhanaan). [9]Pernyataan tersebut juga bermakna kesetaraan setiap warga Baduy selama hidup di dunia. Menurut keyakinan orang Baduy, mereka akan berbeda jika sudah berada di alam setelah meninggal bergantung pada amal kebajikannya di dunia. Rumah Baduy yang berbentuk panggung secara umum berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang memiliki kekuatan netral yang terletak diantara dunia bawah dan dunia atas.Rumah tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah (sebagai bagian dari dunia bawah). Oleh karena itu, rumah dibuat dengan cara memasang tiang-tiang kolong yang ditegakkan di atas batu umpak. Secara khusus, rumah Baduy berdasarkan susunan vertikalnya merupakan cerminan pembagian jagat raya.Kaki atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), tubuh atau dinding dan ruang di dalamnya melambangkan dunia tengah (dunia kehidupan alam semesta), dan kepala atau atap melambangkan dunia atas (dunia abadi, kahyangan). Jika rumah tanpa kaki dianggapnya sama saja dengan hidup di dunia bawah, atau jika rumah menggunakan atap genting, sama artinya dengan dikubur hidup-hidup (karena genting terbuat dari tanah) (Cecep Eka Permana, 2010: 82-83). Khusus pada masyarakat Baduy Tangtu bila mendirikan rumah pada tanah yang miring, maka tidak boleh meratakan tanah tersebut. Meratakan tanah berarti akan merusak dan membolak-balik tanah. Membolak-balik tanah berarti melanggar pikukuh.Untuk memperoleh lantai rumah yang rata, maka tihang (tiang) rumah diatur ketinggiannya.Tanah yang merendah dibuatkan tiang yang lebih tinggi dibandingkan tiang pada tanah yang meninggi. Dengan demikian, jika kita memasuki permukiman Baduy Tangtu akan terlihat jelas bentuk kontur atau permukaan tanah aslinya. Air hujan akanmengalir mengikuti jalan alamiahnya. Karena tidak ada rekayasa yang bertentangan dengan apa adanya, maka tidak pernah terjadi erosi, tanah longsor, atau banjir di permukiman-permukiman Baduy tersebut.  Kearifan lokal masyarakat Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana gempa (lini) terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, serta penggunaan umpak.Konstruksi bangunan rumah menggunakan bahan berasal dari lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu.Struktur bangunan didirikan atas sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi empat.Struktur penutup dinding terbuat anyaman bambu (bilik/geribig) yang dibiarkan warna dan karakter aslinya.Bambu-bambu yang dibelah juga digunakan untuk menjadi struktur penutup pada pengakhiran anyaman bambu.Semua rincian konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait.Orang Baduy Tangtu dilarang menggunakan paku dalam pembuatan rumah.Untuk pengikat umumnya digunakan rotan dan bambu, atau dengan teknik pasak.Struktur lantai rumah umumnya digunakan bambu yang yang dibuat berbentuk lembaran-lembaran disebut palupuh.Sementara itu, untuk struktur utama hateup (atap) digunakan atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai pengikat. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran. Selain itu, baik rumah masyarakat Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping, semuanya didirikan di atas umpak batu (dedel).Hal itu menurut penjelasan dari para narasumber bermakna filosofis bahwa rumah Baduy sebagai pusat antara dunia bawah dan dunia atas.Dalam kaitan ini, umpak batu menjadikan rumah tidak menyentuh tanah yang melambangkan dunia bawah.Secara praktis, umpak batu juga berfungsi mencegah rayap atau pelapukan tiang rumah akibat udara basah atau lembab pegunungan.Adanya hawu dan parako di dalam rumah juga merupakan kearifan lokal tersendiri.Hawu bila berdiri sendiri berfungsi sebagai perapian berupa bidang segi empat yang sisi-sisinya terbuat dari kayu/papan yang diisi tanah (bawah) dan abu (atas).Namun bila bersama parako (tungku dari tanah liat), maka hawu berfungsi sebagai dasar tungku. Dengan adanya hawu, maka berfungsi mencegah kebakaran karena api atau bara pada parako tidak membakar lantai palupuh yang ada di bawahnya. Secara teknis, struktur dan sambungannyalah yang menunjukkan adanya kearifan lokal yang terkait dengan mitigasi bencana.Sedangkan secara simbolis, umpak menunjukkan kepercayaan yang terkait dengan alam, yaitu dipandang sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia bawah. Selain rumah tinggal, ada satu bangunan penting bagimasyarakat Baduy, yakni lumbung (leuit). Seperti halnya bangunan rumah, lumbung juga dibuat dengan menggunakan bahan alami seperti kayu dan bambu, serta atap dari rumbia atau ijuk.Lumbung-lumbung ini terletak berkelompok di luar permukiman.Biasanya tiap keluarga memiliki satu hingga tiga buah lumbung. Bangunan ini umumnya berukuran 1,5 x 1,5 m sampai 2 x 2 m. Bangunan lumbung juga memiliki kolong dengan tinggi kaki sekitar 1 sampai 1,5 meter. Secara umum terdapat dua jenis bangunan lumbung, yakni lumbung yang memiliki geuleubeug dan lumbung tanpa geuleubeug). Bangunan lumbung yang memiliki geuleubeug adalah lumbung yang pada bagian atas kaki bangunan terdapat semacam piringan bulat dari kayu dengan diameter 30-50 cm yang terletak sekitar 30 cm di bawah lantai lumbung. Fungsi dari piringan ini adalah untuk mencegah agar tikus atau binatang pengerat lainnya tidak dapat naik dan masuk ke dalam lumbung.Bagian badan dari lumbung ini agak mengecil ke arah bagian bawah.Lumbung tanpa geuleubeug berukuran lebih pendek. Bagian badan lumbung memiliki ukuran yang sama dari bagian atas hingga bawah. Bentuk lumbung seperti ini banyak dijumpai dan dibuat saat ini.Pengetahuan tentang peletakan lumbung-lumbung terpisah dari permukiman merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy yang khas sebagai mitigasi bencana kebakaran rumah atau kampung.Tidak ada pola khusus peletakan lumbung, ada yang berada di seberang sungai, di balik hutan kampung, di lereng bukit, atau pada jarak 10-20 meter dari rumah terakhir.Selain itu, seperti halnya bangunan rumah, lumbung ini juga didirikan di atas tiang yang dilandasi oleh umpak batu kali.Selain secara teknis untuk mencegah pelapukan kaki bangunan, cara ini juga dapat menjaga kelenturan bangunan jika terjadi goncangan gempa hingga bangunan tidak roboh.
6.      INTERAKSI SUKU BADUY DENGAN AGAMA-AGAMA LAIN
Interaksi orang-orang suku Baduy dengan penganut agama lain di sekitar wilayah suku Baduy sangat amat harmonis, dimana interaksi antara suku Baduy dengan masyarakat luar sangat amat menghargai satu sama lain, masyarakat Baduy terkenal dengan keramahannya dan menghargai orang-orang yang berkunjung ke ranah mereka. Berdirinya kesultanan Banten yang secara otomastis memasukan mereka ke dalam wiayah kekuaaannya pun tidak terlepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan kepada penguasa masyarakat Baduy rutin melaksanakan seba ke kesultanan Banten, sampai sekarang upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten dan bupati kabupaten. Mencirikan silaturahmi suku Baduy dengan pemerintah.
7.      SOCIAL BUDAYA DAN MATA PENCAHARIAN SUKU BADUY
Pola hdup antara masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar secara umum hamir sama, misalnya anak-anak mereka dilarang bersekolah secara formal. Menurut sang ibu kepada kami:
kalaumereka bersekolah menjadi pinter, dan kaklau pinter ngeminterin orang”.

Memang anaknya berkeinginan untuk sekolah tetapi dilarang oleh jaro, mereka harus atuh pada apa yang sudah menjadi ketentuan yang disebut dengan pikukuh karuhun  yang ditetapkan oleh sang Pu’un. Jadi dalam hal pendidikan anak-anak usia sekolah bagi masyarakat Baduy, baik Baduy luar maupun Baduy dalam, sebagian ada keinginan untuk sekolah, namun tidak dapa terlaksanakan karen adanya larangan dari adat.
Permasalahan yang dihadapi apabila ketentuan adatyang diputuskan oleh Puun bertentangan dengan ketentuan pemerintahan kabupaten lebak, misalnya dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun dimana anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi ketentuan adat Baduy melarang anak-anak Baduy luar maupun dalam untuk sekolah formal.
Tak hanya itu, masyarakat Baduy termask masyarakat yang produktif, senantiasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang mengahasilkan dan bermanfaat. Sebagaimana tampak pada salah satu rumah penduduk yang peneliti hampiri dii teras rumahnya ada seorang wanita usia sekitar 31 tahun lebih, sedang tekun menenun kain. Hasil tenunannya ada yang berupa selendang dan ikat kepala. Kegiatan menenun ini dikerjakan saat waktu lenggang dan tidak sedang ngahuma (berladang).
Mata pencahaian masyarakat Baduy Kanekes (baduy luar dan baduy dalam) yang paling utama adalah bercocok tanam pada huma 99% dan berkebun serta membuat kerajinan atau koja atau tas yang terbuat dari kulit kayu, mengelolah gula aren, dan tenun. Padi tidak dijual, kecuali cabe, pisang, jahe. Selain itu suku Baduy luar, ada juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan membantu mengerjakan lahan oang lain, di luar desa Kanekes. Ada pula yang membantu memasarkan hasil kerajinan khas Baduy seperti: gantungan kunci dari balok kelapa, dan menenun selendang, sarung dan sebagainya. Sementara di Baduy dalam yang banyak mengahasilkan kebon, tidak perlu membawanya keluar tetapi justru para pedagang (pengusaha) yang mendatangi langsung ke petani Baduy dalam.
Dengan demikian, social Budaya dan mata pencaharian suku Baduy masih terbilang jauh, namun hal ini tidak menjadi masalah yang central karena mereka demikian nyaman dengan apa yang mereka jalani saat ini.


 


[1]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[2]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[3]Wawancara kokolot desa kanekes, pada tanggal 05/05/2016
[4]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[5]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[6]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[7]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[8]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[9]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar