A. PROFIL SUKU BADUY DESA KANEKE
1.
LETAK GEOGRAFIS
Suku Baduy terletak di daerah Banten, secara geografis
suku Baduy terletak pada kordinat 6°27’27”-6°30’0” LS dan 108°3’9”-106°4’55” BT,
suku Baduy bermukim tepatnya di kaki gunung kendeng didesa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari
kota Rangkasbitung.suhu rat - rata disana adalah 20 °C dan tiga desa utamanya
adalah cikeusik, cibeo, cikertawana.
Dilihat dari segi geografisnya memang suku Baduy ini
jauh dari tempat-tempat umum dan terletak dekat gunung sehingga menyebabkan
orang kenakes lebih menutup diri terhadap dunia luar seperti tidak mau belajar
baca tulis, mengenal teknologi, dan hanya berpegang teguh terhadap kepercayaan
dan adat istiadat yang mereka anut.
Baduy yang berlokasi di desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari
kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana.Dan terbagi atas Baduy luar dan
Baduy dalam.Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99
rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan rumah kokolot
atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.Masyarakat suku baduy yang
berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit,
dan berhutan-hutan, dengan memilki lembah yang curam sedang, sampai curam
sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah
pemukiman Baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut,
dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah 150 m diatas permukaan air
laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan
laut. Dan terbagi ke dalam 65 kampun, 3 kampung di Baduy dalam dan 62 di baduy luar dengan jumlah 65 RT, dan
jumlah penduduk mencapai 3.460 jiwa.
Persatuan dan kesatuan orang Baduy sangat baik karena
orang Baduy mempunyai Prinsip gotong royong jika dalam bahasa sunda disebut
rereongan. Gotong royong dalam hal ini contohnya dalam pembangunan rumah,
pendapatan hasil alam, lalu dari hasil itu ditabung bersama-sama dan masuk ke
dalam kas desa.[1]
Dalam masyarakat Baduy luar maupun Baduy dalam dikenal
dengan yang namanya rukun agama yaitu yang membedakan Baduy luar dan Baduy dalam
daricaraberpakaian. Baduy luar lebih dominan memakai pakaian hitam dengan ikat
kepala berwarna biru, sedangkan Baduy dalam lebih dominan memakai baju putih
dengan ikat kepala berwarna putih pula.
Agama kepercayaan orang Baduy yaitu sunda wiwitan atau
yang mereka sebut dengan slam sunda wiwitan. Disebut Islam Sunda Wiwitan karena
orang Baduy pun membaca 2 kalimat syahadat seperti halnya dalam Islam tetapi
agak berbeda. Adapun sistem peradatan yang ada di Baduy luar maupun dalam memiliki
perbedaan yaitu dilihat dari sistem adatnya, Baduy dalam lebih mengedepankan
sistem peradatan.Berbeda dengan Baduy luar yang masih menjalankan sistem adat,
tetapi lebih condong kepada sistem pemerintahan.Jaro berperan sebagai orang
yang menjembatani kebutuhan orang Baduy dalam, dan sebagai penghubung ke
pemerintah.Biasanya seorang Jaro berasal dari Baduy luar dan lebih mengikuti
sistem pemerintahan tetapi tidak juga meninggalkan sistem adat yang berlaku di Baduy.[2]
2.
ASAL-USUL
Nabi
Adam sebagai nenek moyang pertama.Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy
merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.Suku Baduy yang
merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui
kepercayaan sunda wiwitan.Yang mana kepercayaan ini meyakini akanadanya Allah
sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan
kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan
turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani
kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan
sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan
kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak menggunakan listrik,tembok,
mobil dll.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Baduy berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat
mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes
dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16
berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting
dari Kerajaan Sunda.Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian
sungai perlu dipertahankan.Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara
kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan
lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.Keberadaan pasukan dengan
tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy
yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung
Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada
dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja
ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari
serangan musuh-musuh Pajajaran.[3]
Ada
versi lain dari sejarah Suku Baduy, dimulai ketika Kian Santang Putra Prabu
Siliwangi pulang dari Arabia setelah berislam di tangan Sayyidina Ali. Sang
putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita,
dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk Islamdan
menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi
dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga
ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah Baduy tersebut berganti namadengan
gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti
lagi. Dan di Baduy dalamlah Prabu Siliwangi bertahta dengan 40 pengikut
setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita
yang diwakili oleh Ki Saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan
wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya
di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan
kebenaran.
Perkembangan
masyarakat baduy pada masa kini adalah masyarakat baduy dalam sudah bisa
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat luar.Mereka juga telah
mengenal teknologi tetapi tidak mereka pakai karena mereka tetap berpegang
teguh pada adat istiadat yang mereka miliki.
Perbedaan
Suku Baduy dalam dan Baduy luar adalah Baduydalam tidak pernah naik kendaraan
kalau bepergian.Karena itu setiap kali ke Jakarta atau ke mana saja mereka
harus berjalan kaki dan tidak menggunakan alas kaki, sandal atau sepatu.
Sedangkan orang Baduy Luar sudah mulai terbuka terhadap perkembangan seperti
menggunakan alas kaki dan bisa naik kendaraan kalau bepergian. Orang Baduyluar bisa
berobat ke Puskesmas kalau sakit, sementara orang Baduydalam dilarang.Mereka
menggunakan dukun kampung untuk menyembuhkan sakit.Pola rumah tinggal yang
mereka gunakan juga sudah sedikit berbeda. Baduy Dalam sama sekali dilarang
untuk menggunakan paku dalam mendirikan rumah. Mereka hanya menggunakan tali
untuk mengikat tiang rumah dan kerangka rumah lainnya. Sementara Baduyluar sudah
bisa menggunakan paku untuk membuat rumah.
Baduy
dalam biasanya tidak berinteraksi dengan masyarakat luar biasanya dengan
perantara Baduy Luar, Baduy dalam pun menolak adanya benda- benda elektronik
seperti hp, kamera dsb. Sedangkan Baduy Luar, mereka sudah hidup secara modern
dan berinteraksi dengan masyarakat luar. Sejak dahulu Baduy dalam dan Baduy luar
memang sudah terbagi.[4]
MITOLOGI SUKU BADUY
3.
KONSEP ALAM
Masyarakat Baduy hingga saat ini hidup dan menjalani
kehidupan secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat
istiadatnya, serta meniti hari demi hari dengan penuh kearifan.Salah satu
bentuk kearifan lokal masyarakat Baduy yang cukup menonjol adalah berkaitan
dengan pencegahan terhadap bencana atau mitigasi bencana. Fakta dalam masyarakat Baduy menunjukkan
bahwa (1) masyarakat Baduy melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang
(huma), tetapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan; (2) di wilayah
Baduy banyak hunian penduduk berdekatan dengan sungai, namun tidak pernah
terjadi bencana banjir melanda permukiman; (3) walaupun rumah dan bangunan
masyarakat Baduy terbuat dari bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu, rumbia,
dan ijuk), jarang terjadi bencana kebakaran hebat; dan (4) wilayah Baduy yang
termasuk dalam daerah rawan gempa Jawa bagian Barat, tidak pernah terjadi kerusakan
bangunan akibat bencana gempa.
Sistem pertanian masyarakat Baduy yaitu dengan sistem
pertanian berladang.Meskipun dalam bidang pertanian mereka tidak mengenal
sarana dan prasarana pertanian yang modern serta hanya mengenal sistem
perladangan, dimana sistem perladangan adalah sistem pertanian yang paling
purba, namun mereka memiliki kearifan lokal yang sangat mengagumkan.Mereka
sangat menghormati lingkungannya dengan tetap menjaga keseimbangan
ekosistemnya. Mereka berprinsip bahwa jika keseimbangan tak terjaga, maka
malapetaka akan datang dan akan menimpa mereka pula. Sebuah prinsip yang saat
ini semakin terlepas pada diri kita yang sering menyebut “manusia modern”
ini.Beberapa aktivitas bertaninya yang menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal
diantaranya adalah mereka mempunyai pengetahuan yang handal tentang ilmu
perbintangan.Ilmu perbintangan ini sangat penting artinya dalam dunia pertanian
Baduy.Dengan melihat posisi bintang tertentu (bintang kidang dan bintang
waluku), mereka bisa membaca cuaca atau musim beserta dengan perubahan-perubahannya
sehingga kerugian bertani akibat perubahan cuaca dapat dihindari.Sementara itu,
pada saat memulai penanaman padi di ladang, mereka tidak lupa menancapkan
batang atau cabang daun pelah yang mempunyai bau khas. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk mencegah serangan hama penyakit dan hewan pengerat tikus. Batang
atau cabang yang ditancapkan tersebut merupakan tempat yang sangat disukai
capung dan capung-capung ini merupakan predator dan penghalau hama-hama tanaman
padi.Burung-burung hantu juga sangat senang bertengger di cabang-cabang
tersebut.Burung-burung hantu inilah yang menjadi predator bagi tikus-tikus
ladang yang seringkali merusak tanaman padi.Setidaknya dengan keberadaan
burung-burung hantu ini keseimbangan alam atau lebih khususnya populasi tikus
dapat dikendalikan. Demikian juga dengan penggunaan penyubur tanaman dan
pencegahan tanaman dari serangan hama penyakit. Penyubur dan pestisida terbuat
dari campuran berbagai dedaunan yang ditumbuk halus dan dicampur dengan abu
dapur.Semua bahan-bahan ini sangat ramah lingkungan dan bahannya tersedia di
lingkungan mereka sendiri.Ini menunjukkan kemandirian mereka dalam bertani
sekaligus kearifannya terhadap alam. Mereka telah mengenal dan menerapkan
konsep yang disebut dengan integrated pest management atau pemberantasan
hama terpadu yang dalam pertanian modern sekarang ini sangat dianjurkan.
Sementara itu, jenis tanaman padi yang ditanam adalah jenis padi lokal yang
merupakan hasil seleksi sendiri. Meskipun masa tanamnya lebih lama namun jenis
padi lokal mempunyai kualitas lebih baik, rasa dan aroma lebih enak, lebih
tahan lama jika disimpan, lebih tahan terhadap hama penyakit, dan adaptif
terhadap berbagai kondisi. Ini juga suatu bentuk kemandirian mereka lainnya
dalam bidang pertanian.[5]
4.
TRADISI DAN KEPERCAYAAN
Perladangan yang diterapkan di Baduy
berpindah-pindah.Setiap tahun panen padi hanya satu kali saja. Lamanya masa
tanam padi lima sampai enam bulan.Tanah yang ditinggal pergi oleh seorang
peladang harus didiamkan dulu sebelum dijadikan lahan oleh warga lain agar
kesuburannya terjaga. Jeda waktu sebelum tanah bisa ditanam lagi semakin
singkat. Sekitar 10 tahun lalu tanah diistirahatkan sekitar 10 tahun, sekarang
hanya didiamkan tiga sampai lima tahun. Siklus yang semakin cepat ini dipicu
oleh pertambahan jumlah penduduk Baduy yang berefek pada kualitas dan kuantitas
produksi padi.Perpindahan ladang umumnya dilakukan setelah satu sampai dua kali
panen, meskipun ada juga warga yang baru pindah ladang setelah empat kali
panen. Hasil panen di tanah yang sama akan terus menurun setiap tahun. Setiap
kali membuka ladang baru, ada tiga pekerjaan yang dilakukan, yaitu memangkas
tumbuhan yang ada di tempat, membakar tumbuhan, dan membersihkan tanah dari
benda-benda yang mengganggu perladangan.Tanah tidak dibajak demi menjaga
kekuatan tanah di tanah Baduy. Setelah tanah siap, dimulailah tanam padi atau
yang dikenal dengan namangaseuk. Sebelum mulai menanam padi, suku Baduy
mengadakan upacara untuk memuji Dewi Sri, yang dikenal sebagai Dewi padi, agar
melindungi tanah mereka.Dalam upacara ini, ada mantra-mantra yang diiringi
alunan angklung dan kendang kecil (dog-dog).Pemain angklung bertugas membacakan
mantra.Upacara ini wajib diadakan di setiap kampung.Warga yang mampu juga boleh
mengadakan upacara ini bagi mereka masing-masing. Upacara yang diadakan setiap
keluarga sifatnya tidak wajib sebab untuk upacara ini tuan rumah harus
menyediakan makan dan kebutuhan lain. Masa tanam padi di kampung-kampung Baduy
dimulai ketika Puun sudah menanam padi.Setelah Puun, warga mulai
menanam.Beberapa warga memiliki hari baik yang mereka jadikan pegangan untuk
mulai menanam padi.Setelah masa tanam warga Baduy tidak lagi mengurus huma
mereka secara teratur.Mereka hanya membersihkan ladang dari tumbuhan-tumbuhan
yang dapat mengurangi produksi padi.Pengairan ladang dilakukan tanpa irigasi
dan hanya mengandalkan hujan. Secara umum dan garis besar, tahapan kerja
bercocok tanam di ladang pada masyarakat suku Baduy adalah sebagai berikut:[6]
a. Pertama, suatu areal hutan yang akan dibuka
terlebih dahulu dibersihkan semak belukarnya, yang disebut dengan nyacar dan
biasanya dilakukan oleh laki-laki dewasa dengan menggunakan alat antara lain
golok dan parang. Pekerjaan itu adakalanya dibantu pula oleh wanita dewasa.
b.
Kedua, setelah hutan dibersihkan, kemudian dilakukan penebangan pohon-pohon
besar dengan menggunakan kapak, patik atau baliung (sejenis kapak besar).
c.
Ketiga, selanjutnya ranting-ranting kayu dibakar, pembakaran hutan yang sudah
ditebang pada dasarnya adalah cara untuk mempercepat proses pembusukan dan
sekaligus mengarahkan proses itu sedemikian rupa sehingga zat makanan yang
dilepaskan tersalur sebanyak mungkin ke dalam tanaman penghasil pangan yang
sudah dipilih. Proporsi yang cukup besar dari energi mineral yang menghidupi
tanaman ladang itu khususnya padipadian, lebih banyak berasal dari abu hutan
yang dibakar, sehingga sempurnanya pembakaran itu merupakan faktor penting
untuk menentukan hasil panen kelak, suatu kenyataan yang barangkali memang
disadari oleh semua peladang.
d.
Keempat, setelah areal hutan dibakar biasanya tidak langsung digarap, tetapi
dibiarkan beberapa waktu lamanya sehingga tanah menjadi dingin. Ketiga, tahap
berikutnya adalah penanaman benih berupa padi-padiandan biji-bijian
lainnya.Kegiatan ini dilakukan oleh laki-laki dan wanita, pekerjaan ini disebut
ngaseuk, yaitu melobangi tanah untuk menanam benih dengan aseuk (tongkat kayu
dengan panjang kira-kira satu setengah meter yang ujungnya dibuat agak
runcing).Selain padi, di tanah huma ditanam pula kacang-kacangan dan
biji-bijian, misalnya jagung, bahkan didaerah Banten orang mulai menanam
tanaman keras, seperti kelapa dan buah-buahan.Keempat, selama menunggu masa
panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan dari rumput-rumputan yang
tumbuh.Keempat, selama menunggu masa panen (3-4 bulan), huma perlu dibersihkan
dari rumputrumputan yang tumbuh di sekitar tanaman.Pekerjaan ini disebut ngoyos
(menyiangi). Pada perkem-bangan selanjutnya,dalam pekerjaan ngaseuk dan ngoyos
digunakan peralatan berupa cangkul dan kored (sejenis cangkul kecil).
e.
Kelima, tahap kelima adalah masa panen. Pekerjaan panen biasanya dilakukan oleh
wanita secara gotong-royong, sedangkan laki-laki bertugas mengangkut hasil
panen ke rumah masing-masing. Pada setiap tahap dari kegiatan tersebut di atas,
terutama kegiatan panen selalu disertai dengan upacara selamatan agar usaha
pertanian itu tidak mengalami ganggguan atau diserang hama. Upacara itu
merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap alam gaib dalam kehidupan
manusia, sebagai bagian dari budaya animisme dan dinamisme. Dalam hubungan ini masyarakat Baduy tetap
mempertahankan mata pencaharian ngahuma, karena hingga kini mereka masih tetap
tabu/pamali (dilarang secara adat) untuk mengolah tanah pertanian mereka dengan
pola pertanian sawah. Bila dianalisa lebih jauh, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa factor. Pertama, tanah pertanian masyarakat Baduy terletak
diperbukitan sehingga sulit dibuatkan irigasi.Kedua, dibalik tabu itu
terkandung makna, bahwa mereka mungkin secara tidak disadari sebenarnya telah
merasakan manfaat ekosistem.Itulah sebabnya huma di daerah Baduy ditanami pula
dengan tanaman keras sebagai pelindung tanah, sehingga tanah pertanian mereka
tetap subur.Ketiga, mereka sangat percaya terhadap alam/kekuatan gaib.Suatu
areal huma biasanya diolah selama satu sampai tiga tahun.Setelah itu huma
dibiarkan menjadi hutan kembali. Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima
macam huma, yakni: (a) humaserang, ladang adat kepunyaan bersama yang
hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya Baduy Dalam), yaitu di
Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, (b) huma puun, ladang dinas selama menjabat
sebagai puun yang letaknya tidak jauh di belakang rumah puun, (c) huma tangtu,
ladang untuk keperluan penduduk Baduy Tangtu, (d) huma tuladan, ladang untuk
keperluan upacara (seperti huma serang) di Baduy Panamping (Baduy Luar), dan
(e) huma panamping, ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping (Cecep Eka
Permana, 2010:52-54). Huma serang dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian
diikuti dengan huma puun, huma tangtu, lalu huma tuladan dan huma
panamping.Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan
masyarakat Baduy.Dalam adat Baduy, padi yang dihasilkan terutama untuk
keperluan upacara adat dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh
diperjualbelikan.Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara adat Baduy
Tangtu dan keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma panamping untuk upacara
adat di wilayah panamping.Jika terjadi gagal panen di huma serang, maka padi upacara
diambil dari huma panamping.Jika keduanya gagal panen, maka padi diambil dari
huma tangtu dan huma panamping. Strategi itu merupakan antisipasi kegagalan
panen misalnya akibat cuaca yang tidak menentu dan serangan hama. Dengan
membuka ladang yang tidak bersamaan dan pada tempat yang berbeda, maka
kegagalan panen dapat dihindari (Cecep Permana, 2010: 54-55).Kearifan lokal
masyarakat Baduy dalam tradisi perladangan yang berdampak pada mitigasi bencana
terlihat dalam tradisi pemilihan dan pembakaran lahan ladang (huma).Tradisi
pemilihan lahan ladang berkaitan dengan mitigasi bencana tanah longsor,
sedangkan tradisi pembakaran lahan ladang berkaitan dengan mitigasi kebakaran
hutan.[7]
Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah
informan dan narasumber diketahui bahwa pemilihan lahan huma didasarkan atas
jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng.Dari segi jenis tanahnya
dapat dilihat berdasarkan warna, kandungan air dan udara, serta kandungan
batu.Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas
(tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah).Tanah hitam merupakan prioritas
karena tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus). Berdasarkan kandungan
air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah
gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh
bear karena pada tanah ini selain terdapat air, juga longgar dan terdapat
banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas.Sementara
itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya
batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang
(tanah yang banyak terdapat batu).Dari segi kandungan humusnya dapat dilihat
dari banyak tidaknya surubuk dan koleang. Surubuk merupakan istilah Baduy untuk
menyebut humus sebagai kandungan dalam
tanah yang dapat menyuburkan tanaman, sedangkan koleang berupa daun-daun kering
yang jatuh atau terdapat pada permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting
bagi masyarakat Baduy sebagai pupuk organik.Berbeda dengan jenis tanah dan
kandungan humus, segi kemiringan lereng lebih berkaitan langsung dengan
mitigasi bencana.Menurut para informan, dari segi kemiringan lereng orang Baduy
membedakannya menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam) dan lahan
cepak (lahan di tempat datar).Pilihan terbaik untuk lahan ladang adalah lahan
cepak.Secara praktis lahan tersebut lebih mudah dalam pembukaan dan pengelolaan
lahan.Tetapi dalam kenyataan di lapangan didapati bahwa bentukan permukaan lahan
di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar sehingga banyak
ladang ditemukan pada lahan gedeng.Oleh karena itu, upaya mitigasi longsor yang
dilakukan adalah dengan tidak menebang pohon-pohon besar yang terdapat di lahan
tersebut.Selain itu, untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan,
maka pada lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari
potongan-potongan kayu.Kearifan lokal dalam kaitannya dengan mitigasi kebakaran
hutan terlihat dalam tradisi ngahuru atau ngaduruk, yakni membakar tebangan
sehabis membuka ladang.Dahan, ranting, dedaunan dan rerumputan bekas
potongan/tebasan harus dikeringkan dan dionggokkan untuk dibakar.Kegiatan
pengonggokan ’sampah’ tersebut disebut dangdang (Baduy Panamping) atau nyampurai
(Baduy Tangtu).Kegiatan yang dilakukan adalah membuat onggokan besar di
tengah-tengah ladang yang diperoleh dari ’sampah’ di sekelilingnya.Kemudian
tidak begitu jauh dari onggokan besar di tengah tersebut dibuat
onggokan-onggokan lebih kecil mengitarinya. Di antara onggokan-onggokan
tersebut tidak boleh ada ’sampah’ yang tersisa agar ketika pembakaran api tidak
menjalar ke mana-mana. Demikian pula, antara anggokan-onggokan kecil ’sampah’
dan batas ladang juga harus dibuat bersih, agar api tidak menjalar ke luar
ladang yang dapat menyebabkan kebakaran hutan atau ladang milik warga lain.
Awal kegiatan ngahuru atau ngaduruk ini harus berpatokan pada pertanggalan
bintang.Dalam ungkapan yang diutarakan oleh Sangsang (48 tahun), informan dari
kampung Cibeo (Baduy Tangtu), “gek kidang ngarangsang kudu ngahuru”,
yang artinya lebih kurang adalah “jika melihat bintang kidang (waluku) seperti
pada posisi matahari pagi, maka waktunya mulai membakar sisa-sisa tebangan di
ladang”. Daerah Baduy saat membakar onggokanonggokan ’sampah’ ladang tersebut
seolah-olah sedang terjadi kebakaran hutan, karena asap mengepul di mana-mana.
Walaupun demikian, pada saat kegiatan ini tidak pernah terjadi kebakaran hutan.
Selama pembakaran selalu dijaga agar api tidak merambat kemana-mana. Bila akan
ditinggalkan harus dipastikan bahwa api dan bara telah benar-benar padam. Abu
sisa pembakaran ini dibiarkan tertinggal pada lapisan atas tanah sebagai pupuk
sambil menunggu hujan tiba.Tradisi Baduy juga mengajarkan bahwa dalam
perladangan dilarang (buyut) menggunakan peralatan pacul apalagi
bajak.Alat-alat tersebut dapat menyebabkan tanah menjadi terbolak-balik dan
permukaan tanah berubah. Terbolak-balik dan berubahnya permukaan tanah diyakini
akan berdampak pada ketidakstabilan permukaan tanah dan dapat mengakibatkan
tanah longsor. Oleh karena itu, dalam tradisi menanam benih padi di ladang
hanya menggunakan tongkat kayu (tugal) yang disebut aseuk.Kegiatan menugal atau
membuat lubang-lubang kecil untuk memasukkan benih padi tersebut disebut
ngaseuk. Permukiman dimasyarakat baduy ditentukan oleh Puun, bangunan yang akan
didirikan harus sesuai dengan struktur tanah dan letak topografi daerah
tersebut. Kondisi rumah, bentuk rumah, susunan ruangan sudah disesuaikan dengan
ketentuan adat.Walaupun mereka memiliki tanah tetapi mereka tidak boleh
mendirikan bangunan secara sembarangan tanpa ada perijinan dari ketua adat
terlebih dahulu. Sebelum mereka mendirikan rumah lahan yang akandigunakan harus
diterawang oleh ketua adat, apakah lokasi tersebut sudah cocok atau tidak untuk
mendirikan rumah.
5.
ARSITEKTUR BANGUNAN
Bentuk bangunan permukiman masyarakat Badui rata-rata
memiliki bentuk yang sama yaitu ruangan rumah dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
(a) Teras (sasoro); (b) Ruang tengah (depas); (c) Dapur
(imah) Bentuk arsitektur bangunan rumah dan bangunan lainnya dikaitkan dengan
kondisi lingkungan seperti:
a.
Atap terbuat dari daun aren (kirey) dan ijuk,
berfungsi untuk menghindari ruangan dalam rumah saat hujan turun agar air tidak
masuk kedalam rumah dan dapat langsung terkena sinar terik matahari sehingga
ruangan dari rumah terhindar dari kelembapan.
b.
Tiang terbuat
dari kayu mahoni, karena kayu mahoni termasuk kayu yang paling kuat sehingga
mengantisipasi agar rumah tidak cepat roboh dan tahan terhadap bencana alam
seperti angin, air hujan, dan gempa.
c.
Dinding rumah terbuat dari bambu (dalam bentuk anyaman).
Bambu termasuk tumbuhan yang elastis sehingga mudah dijadikan penutup rumah Fungsinya
tahan terhadap angin dan memberikan efek sejuk di dalam rumah. [8]
Selain itu bentuk bagunan masyarakat Baduy rata-rata
memiliki bentuk yang sama, hal ini menunjukkan kesederhanaan didalam lingkungan
masyarakat. Bentuk permukiman dari tiap-tiap rumah saling berkelompok sesuai
dengan topografi yang ada. Letak permukimannya berada di pinggir sungai
.Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Baduy dalam mendirikan bangunan masih
tergolong sederhana, namun menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Bangunan
rumah Baduy umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung sederhana dari bahan
kayu, bambu, ijuk dan rumbia. Rumah panggung ini mempunyai ukuran yang hampir
sama. Menurut Sarpin (42 tahun) warga kampung Balimbing (Baduy Panamping)
tentang rumah yang sama dan sederhana tersebut: “...kudu sarua ulah aya anu
luhur handapan hirup sadarahana...” (yang maksudnya: harus sama tidak boleh
ada yang tinggi atau rendah dan hidup dalam kesederhanaan). [9]Pernyataan tersebut juga
bermakna kesetaraan setiap warga Baduy selama hidup di dunia. Menurut keyakinan
orang Baduy, mereka akan berbeda jika sudah berada di alam setelah meninggal
bergantung pada amal kebajikannya di dunia. Rumah Baduy yang berbentuk panggung
secara umum berkaitan erat dengan kepercayaan bahwa rumah sebagai pusat yang
memiliki kekuatan netral yang terletak diantara dunia bawah dan dunia
atas.Rumah tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah (sebagai bagian dari
dunia bawah). Oleh karena itu, rumah dibuat dengan cara memasang tiang-tiang
kolong yang ditegakkan di atas batu umpak. Secara khusus, rumah Baduy
berdasarkan susunan vertikalnya merupakan cerminan pembagian jagat raya.Kaki
atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), tubuh atau
dinding dan ruang di dalamnya melambangkan dunia tengah (dunia kehidupan alam
semesta), dan kepala atau atap melambangkan dunia atas (dunia abadi,
kahyangan). Jika rumah tanpa kaki dianggapnya sama saja dengan hidup di dunia bawah,
atau jika rumah menggunakan atap genting, sama artinya dengan dikubur
hidup-hidup (karena genting terbuat dari tanah) (Cecep Eka Permana, 2010:
82-83). Khusus pada masyarakat Baduy Tangtu bila mendirikan rumah pada tanah
yang miring, maka tidak boleh meratakan tanah tersebut. Meratakan tanah berarti
akan merusak dan membolak-balik tanah. Membolak-balik tanah berarti melanggar
pikukuh.Untuk memperoleh lantai rumah yang rata, maka tihang (tiang) rumah
diatur ketinggiannya.Tanah yang merendah dibuatkan tiang yang lebih tinggi
dibandingkan tiang pada tanah yang meninggi. Dengan demikian, jika kita
memasuki permukiman Baduy Tangtu akan terlihat jelas bentuk kontur atau
permukaan tanah aslinya. Air hujan akanmengalir mengikuti jalan alamiahnya.
Karena tidak ada rekayasa yang bertentangan dengan apa adanya, maka tidak
pernah terjadi erosi, tanah longsor, atau banjir di permukiman-permukiman Baduy
tersebut. Kearifan lokal masyarakat
Baduy dalam tradisi bangunan tradisional yang berkaitan dengan mitigasi bencana
gempa (lini) terdapat pada konstruksi, teknik sambung dan ikat bangunan, serta
penggunaan umpak.Konstruksi bangunan rumah menggunakan bahan berasal dari
lingkungan mereka sendiri seperti kayu dan bambu.Struktur bangunan didirikan
atas sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi
empat.Struktur penutup dinding terbuat anyaman bambu (bilik/geribig) yang
dibiarkan warna dan karakter aslinya.Bambu-bambu yang dibelah juga digunakan
untuk menjadi struktur penutup pada pengakhiran anyaman bambu.Semua rincian
konstruksi diselesaikan dengan prinsip-prinsip ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan
berpaut dan sambungan berkait.Orang Baduy Tangtu dilarang menggunakan paku
dalam pembuatan rumah.Untuk pengikat umumnya digunakan rotan dan bambu, atau dengan
teknik pasak.Struktur lantai rumah umumnya digunakan bambu yang yang dibuat
berbentuk lembaran-lembaran disebut palupuh.Sementara itu, untuk struktur utama
hateup (atap) digunakan atap rumbia (kiray) dengan bambu dan rotan sebagai
pengikat. Jika terjadi gempa, maka struktur rumah akan bergerak dinamis
sehingga terhindar dari kerusakan atau kehancuran. Selain itu, baik rumah
masyarakat Baduy Tangtu maupun Baduy Panamping, semuanya didirikan di atas
umpak batu (dedel).Hal itu menurut penjelasan dari para narasumber bermakna
filosofis bahwa rumah Baduy sebagai pusat antara dunia bawah dan dunia
atas.Dalam kaitan ini, umpak batu menjadikan rumah tidak menyentuh tanah yang
melambangkan dunia bawah.Secara praktis, umpak batu juga berfungsi mencegah
rayap atau pelapukan tiang rumah akibat udara basah atau lembab
pegunungan.Adanya hawu dan parako di dalam rumah juga merupakan kearifan lokal
tersendiri.Hawu bila berdiri sendiri berfungsi sebagai perapian berupa bidang
segi empat yang sisi-sisinya terbuat dari kayu/papan yang diisi tanah (bawah)
dan abu (atas).Namun bila bersama parako (tungku dari tanah liat), maka hawu
berfungsi sebagai dasar tungku. Dengan adanya hawu, maka berfungsi mencegah
kebakaran karena api atau bara pada parako tidak membakar lantai palupuh yang
ada di bawahnya. Secara teknis, struktur dan sambungannyalah yang menunjukkan
adanya kearifan lokal yang terkait dengan mitigasi bencana.Sedangkan secara
simbolis, umpak menunjukkan kepercayaan yang terkait dengan alam, yaitu
dipandang sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia bawah. Selain rumah
tinggal, ada satu bangunan penting bagimasyarakat Baduy, yakni lumbung (leuit).
Seperti halnya bangunan rumah, lumbung juga dibuat dengan menggunakan bahan
alami seperti kayu dan bambu, serta atap dari rumbia atau ijuk.Lumbung-lumbung
ini terletak berkelompok di luar permukiman.Biasanya tiap keluarga memiliki
satu hingga tiga buah lumbung. Bangunan ini umumnya berukuran 1,5 x 1,5 m
sampai 2 x 2 m. Bangunan lumbung juga memiliki kolong dengan tinggi kaki sekitar
1 sampai 1,5 meter. Secara umum terdapat dua jenis bangunan lumbung, yakni
lumbung yang memiliki geuleubeug dan lumbung tanpa geuleubeug). Bangunan
lumbung yang memiliki geuleubeug adalah lumbung yang pada bagian atas kaki
bangunan terdapat semacam piringan bulat dari kayu dengan diameter 30-50 cm
yang terletak sekitar 30 cm di bawah lantai lumbung. Fungsi dari piringan ini
adalah untuk mencegah agar tikus atau binatang pengerat lainnya tidak dapat
naik dan masuk ke dalam lumbung.Bagian badan dari lumbung ini agak mengecil ke
arah bagian bawah.Lumbung tanpa geuleubeug berukuran lebih pendek. Bagian badan
lumbung memiliki ukuran yang sama dari bagian atas hingga bawah. Bentuk lumbung
seperti ini banyak dijumpai dan dibuat saat ini.Pengetahuan tentang peletakan
lumbung-lumbung terpisah dari permukiman merupakan kearifan lokal masyarakat
Baduy yang khas sebagai mitigasi bencana kebakaran rumah atau kampung.Tidak ada
pola khusus peletakan lumbung, ada yang berada di seberang sungai, di balik
hutan kampung, di lereng bukit, atau pada jarak 10-20 meter dari rumah
terakhir.Selain itu, seperti halnya bangunan rumah, lumbung ini juga didirikan
di atas tiang yang dilandasi oleh umpak batu kali.Selain secara teknis untuk
mencegah pelapukan kaki bangunan, cara ini juga dapat menjaga kelenturan
bangunan jika terjadi goncangan gempa hingga bangunan tidak roboh.
6.
INTERAKSI SUKU BADUY DENGAN
AGAMA-AGAMA LAIN
Interaksi orang-orang suku Baduy dengan penganut agama
lain di sekitar wilayah suku Baduy sangat amat harmonis, dimana interaksi
antara suku Baduy dengan masyarakat luar sangat amat menghargai satu sama lain,
masyarakat Baduy terkenal dengan keramahannya dan menghargai orang-orang yang berkunjung
ke ranah mereka. Berdirinya kesultanan Banten yang secara otomastis memasukan
mereka ke dalam wiayah kekuaaannya pun tidak terlepas dari kesadaran mereka.
Sebagai tanda kepatuhan atau pengakuan kepada penguasa masyarakat Baduy rutin
melaksanakan seba ke kesultanan
Banten, sampai sekarang upacara seba tersebut terus dilangsungkan
setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,palawija, buah-buahan)
kepada Gubernur Banten dan bupati kabupaten. Mencirikan silaturahmi suku Baduy dengan
pemerintah.
7. SOCIAL BUDAYA DAN MATA PENCAHARIAN SUKU BADUY
Pola hdup antara masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar
secara umum hamir sama, misalnya anak-anak mereka dilarang bersekolah secara
formal. Menurut sang ibu kepada kami:
“kalaumereka bersekolah menjadi
pinter, dan kaklau pinter ngeminterin orang”.
Memang anaknya berkeinginan untuk sekolah tetapi
dilarang oleh jaro, mereka harus atuh pada apa yang sudah menjadi ketentuan
yang disebut dengan pikukuh karuhun yang ditetapkan oleh sang Pu’un. Jadi dalam hal pendidikan anak-anak usia sekolah bagi
masyarakat Baduy, baik Baduy luar maupun Baduy dalam, sebagian ada keinginan
untuk sekolah, namun tidak dapa terlaksanakan karen adanya larangan dari adat.
Permasalahan yang dihadapi apabila ketentuan adatyang
diputuskan oleh Puun bertentangan dengan ketentuan pemerintahan kabupaten
lebak, misalnya dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun dimana anak usia
sekolah harus menyelesaikan pendidikan dasar, tetapi ketentuan adat Baduy melarang
anak-anak Baduy luar maupun dalam untuk sekolah formal.
Tak hanya itu, masyarakat Baduy termask masyarakat
yang produktif, senantiasa memanfaatkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang
mengahasilkan dan bermanfaat. Sebagaimana tampak pada salah satu rumah penduduk
yang peneliti hampiri dii teras rumahnya ada seorang wanita usia sekitar 31 tahun
lebih, sedang tekun menenun kain. Hasil tenunannya ada yang berupa selendang
dan ikat kepala. Kegiatan menenun ini dikerjakan saat waktu lenggang dan tidak
sedang ngahuma (berladang).
Mata pencahaian masyarakat Baduy Kanekes (baduy luar
dan baduy dalam) yang paling utama adalah bercocok tanam pada huma 99% dan
berkebun serta membuat kerajinan atau koja atau tas yang terbuat dari kulit
kayu, mengelolah gula aren, dan tenun. Padi tidak dijual, kecuali cabe, pisang,
jahe. Selain itu suku Baduy luar, ada juga mendapatkan penghasilan tambahan
dengan membantu mengerjakan lahan oang lain, di luar desa Kanekes. Ada pula
yang membantu memasarkan hasil kerajinan khas Baduy seperti: gantungan kunci
dari balok kelapa, dan menenun selendang, sarung dan sebagainya. Sementara di
Baduy dalam yang banyak mengahasilkan kebon, tidak perlu membawanya keluar
tetapi justru para pedagang (pengusaha) yang mendatangi langsung ke petani
Baduy dalam.
Dengan
demikian, social Budaya dan mata pencaharian suku Baduy masih terbilang jauh,
namun hal ini tidak menjadi masalah yang central karena mereka demikian nyaman
dengan apa yang mereka jalani saat ini.
[1]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[2]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[3]Wawancara kokolot desa kanekes, pada tanggal 05/05/2016
[4]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[5]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[6]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[7]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[8]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
[9]Wawancara jaro Saija, pada tanggal 05/05/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar