Rabu, 08 Juni 2016

RESPONDING PAPER SUKU JAWA



A.    Kepercayaan Tradisional Jawa
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa  Hal tersebut dapat kita  lihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan").
Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.[1]
B.     Upacara keagamaan Jawa[2]
1.Upacara Kenduren
Upacara adat Jawa yang pertama adalah kenduren atau selametan. Upacara ini dilakukan secara turun temurun sebagai peringatan doa bersama yang dipimpin tetua adat atau tokoh agama. Adanya akulturasi budaya Islam dan Jawa di abad ke 16 Masehi membuat upacara ini mengalami perubahan besar, selain doa hindu/budha yang awalnya digunakan diganti ke dalam doa Islam, sesaji dan persembahan juga menjadi tidak lagi dipergunakan dalam upacara ini. Upacara Adat Jawa Berdasarkan tujuannya, upacara adat Jawa yang satu ini terbagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya: Kenduren wetonan (wedalan) adalah upacara kenduren yang digelar pada hari lahir seseorang (weton) dilakukan sebagai sarana untuk memanjatkan doa panjang umur secara bersama-sama. Kenduren sabanan (munggahan) adalah upacara yang dilakukan untuk menaikan leluhur orang Jawa sebelum memasuki bulan puasa. Upacara kenduren ini umumnya dilakukan di akhir bulan Sya,ban, sebelum ritual nyekar atau tabur bunga di makam leluhur mereka lakukan. Kenduren likuran adalah upacara kenduren yang digelar pada tanggal 21 bulan puasa dan dilakukan untuk memperingati turunnya Al-Qur’an atau Nujulul Quran. Kenduren ba’dan adalah kenduren yang digelar pada 1 Syawal atau saat hari Raya Idul Fitri yang tujuannya untuk menurunkan arwah leluhur ke tempat peristirahatannya. Kenduren ujar adalah ritual upacara yang digelar jika suatu keluarga Jawa memiliki hajat atau tujuan, misal ketika hendak berkirim doa pada arwah leluhur, khitanan, pernikahan, dan lain sebagainya. Kenduren muludan adalah upacara adat Jawa yang digelar setiap tanggal 12 bulan Maulud dengan tujuan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
2. Upacara Grebeg
Selain upacara kenduren, di Jawa juga dikenal Upacara Grebeg. Upacara ini digelar 3 kali setahun, yaitu tanggal 12 Mulud (bulan ketiga), 1 Sawal (bulan kesepuluh) dan 10 Besar (bulan kedua belas). Upacara ini digelar sebagai bentuk rasa syukur kerajaan terhadap karunia dan berkah Tuhan.
3. Upacara Sekaten Sekaten
Merupakan upacara adat Jawa yang digelar dalam kurun tujuh hari sebagai bentuk peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Berdasarkan asal usulnya, kata Sekaten yang menjadi nama upacara tersebut berasal dari istilah Syahadatain, yang dalam Islam dikenal sebagai kalimat tauhid. Upacara sekaten dilakukan dengan mengeluarkan kedua perangkat gamelan sekati dari keraton, yaitu gamelan Kyai Gunturmadu dan gamelan Kyai Guntursari untuk diletakan di depan Masjid Agung Surakarta.
 4. Upacara Ruwatan
            Upacara ruwatan adalah upacara adat Jawa yang dilakukan dengan tujuan untuk meruwat atau menyucikan seseorang dari segala kesialan, nasib buruk, dan memberikan keselamatan dalam menjalani hidup. Contoh upacara ruwatan misalnya yang dilakukan di dataran Tinggi Dieng. Anak-anak berambut gimbal yang dianggap sebagai keturunan buto atau raksasa harus dapat segera diruwat agar terbebas dari segala marabahaya. Upacara Adat Jawa


5. Upacara Perkawinan Tradisional
Jawa Dalam pernikahan adat Jawa dikenal juga sebuah upacara perkawinan yang sangat unik dan sakral. Banyak tahapan yang harus dilalui dalam upacara adat Jawa yang satu ini, mulai dari siraman, siraman, upacara ngerik, midodareni, srah-srahan atau peningsetan, nyantri, upacara panggih atau temu penganten, balangan suruh, ritual wiji dadi, ritual kacar kucur atau tampa kaya, ritual dhahar klimah atau dhahar kembul, upacara sungkeman dan lain sebagainya.
C.     Kepercayaan kejawen
Orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan,
1.      Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
2.      Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
3.      Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
4.      Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
D.    Kitab kitab kejawen, banyak diantaranya :
1. Primbon Jawa Bekti Jamal
membahas tentang Falakiah, ramalan, petung alamat , tumbal kawruh dll.
2. Kitab Weda Mantra .
Membahas Kiasan Ilmu kesaktian gaib dan mantra
3. Wejangan Wali Songo
Berisi wejangan wali sanga dan pengamalanya
4. Kitab Mantra Yoga
Menerangkan tentang manunggaling Mantra dan penjelasanya
5. Jangka Rangga Warsito
Menjelaskan tentang sabda penawas jaka Lodhang Kala Tidha
6. Primbon Jawa
Berisi tentang pribon hidup
7. Primbon Sabda Amerta
Membahas seputar waktu mulai dari hitungan hari pasaran sampai setiap jam
8. Serat Penangguhing Dhuwung
Menjelaskan tentang penangguhing dhuwung
9. Pustaka Raja
Menjelaskan Mantra Yoga terkait ilmu ilmu gaib
10. Primbon Sabda Sasmaya
Membahas 170 wejangan beserta cara menjalankanya
E.     Interaksi orang jawa
Interaksi agama Jawa terhadap masyarakat luar dan agama lain sangata beragam dan biasanya berlangsung cukup lama serta jarang terjadi perelisihan.




DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen diakses pada tanggal 18/03/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar