MAKALAH REVISI
AGAMA TRADISIONAL ORANG SAKAI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama Lokal
Dosen
Pengampu: Siti Nadroh, MA
Di susun oleh:
Mahfudhoh
11140321000065
Fauziah Gustapo 11140321000067
Rozatul Husna 11150321000043
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
(UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pembahasan mengenai agama
lokal salah satunya yaitu Suku Sakai yang berada di daerah Riau. Membahas
sedikit Suku Sakai di Riau merupakan suku yang sampai saat ini masih
mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang mereka meskipun sudah banyak
orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa Suku Sakai ini sangat menjaga kearifan lokal di mana
meski sudah ada pengaruh dari luar tetapi masih menjaga ajaran-ajaran leluhur
baik itu dari segi kepercayaan maupun upacara-upacara adat.
Pada dasarnya nama Sakai ini diambil
dari gabungan kata-kata S-ungai, K-ampung,
A-nak, I-kan. Di mana hal tersebut mencermikan pola-pola kehidupan mereka di
kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu sungai yang banyak ikan dan airnya
untuk mandi dan minum. Di sini pemakalah akan lebih jauh memaparkan tentang “Agama
Tradisional Orang Sakai”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana asal-usul
orang Sakai di kepulauan Riau?
2.
Bagaimana sistem
kekerabatan orang-orang Sakai?
3.
Apa saja kepercayaan
dan magi orang Sakai?
4.
Apa saja upacara adat
dan upacara keagamaan suku Sakai?
5.
Bagaimana interaksi
kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama lain?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui asal-usul orang Sakai di kepulauan Riau
2.
Untuk mengetahui sistem
kekerabatan orang-orang Sakai
3.
Untuk
mengetahui apa saja kepercayaan dan magi
orang Sakai
4.
Untuk
mengetahui seperti apa upacara adat dan upacara
keagamaan suku Sakai
5.
Untuk
mengetahui interaksi kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama
lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
Sekilas
mengenai sejarah Sakai sendiri dapat diketahui pada zaman Pluvial di daerah
trovis yang di sejajarkan oleh para ahli dengan zaman Glacial di Eropa dan
Amerika. Nusantara (Indonesia) ini belumlah merupakan pulau-pulau, tetapi masih
bersatu dengan daratan Asia. Masuk pada gelombang pertama adalah suku
Wedoid yang mempunyai ciri khas, yang oleh para ahli diakui sebagai suku bangsa
pertama yang menghuni nusantara ini. Mereka adalah pengembara (nomaden) karena
kehidupanya tergantung semata-mata kepada alam, dengan demikian mereka disebut
suku bangsa yang hidup dengan food Gathering[1].
Sisa-sisa suku ini di daerah Riau ditandai dengan adanya Suku Sakai, Kubu dan
Suku orang hutan. Suku-suku ini oleh para ahli disejajarkan dengan suku Senoi
di Malaysia, suku Tokea, dan Toa di sulawesi yang diperkirakan sebagai
sisa-sisa suku bangsa Wedoid itu.[2]
Adapun secara lebih jelas mengenai
sejarah dan asal-usul orang Sakai bisa dirincikan dengan adanya sub-sub bab
berikut ini:
1.
Gambaran Asli Orang Sakai, Sejarah
dan Asal-usul Suku Sakai Masyarakat Sakai di Riau merupakan salah satu kelompok masyarakat tradisonal
yang masih memiliki kebudayaan dan
mencerminkan kesamaan dengan kebudayaan masyarakat masa prasejarah.[3]
Masyarakat Sakai merupakan masyarakat tradisional yang hidup secara
berkelompok dan nomaden, dengan mata pencaharian yang umumnya mengumpulkan
hasil hutan disela-sela menunggu panen padi. Pada awalanya hunian hanya
tersebar di pedalaman wilayah kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi
Riau dan pada bebera puluh tahun berselang pemerintah melaksanakan proyek
pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing, dengan membuat hunian (semacam
perkampungan) yang menjadikan masyarakt Sakai lebih tersebar keberadaannya.
Suku Sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau. Dari
tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai
Dalam. Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah
menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan
dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan
berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku
lainnya.[4]
Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu
lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai
Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai datang dari kerajaan
Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan
pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau.
Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang
datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh,
sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun
rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan
salah seorang diantara mereka.[5]
Adapun asal-usul orang Sakai ini sangat menarik perhatian, oleh karenanya
tidak cukup satu pendapat saja. Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di
Riau diantaranya Pendapat pertama
mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid
dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman
dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan
Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam.
Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu
masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru
yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.
Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang
migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok
ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat
penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini
berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di
pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan
orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kawin campur antara keduanya
inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.[6]
Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari
Pagaruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya
adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba
belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat
padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang
berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan
kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru.
Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi
Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di
wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu
layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian
disebut sebagai orang-orang Sakai.[7]
Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup
di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang
melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau
pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar),
Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat
dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu.
Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang.
Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang
dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di
Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai
dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga
Sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata
pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah
warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman suku
melayu dan suku lainnya.[8]
Nama sakai diberikan oleh orang luar yang merendahkan suku bangsa
itu. Suku bangsa sakai dianggap sebagai salah satu masyarakat di provinsi Riau
dalam arti belum terjangkau oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya
seperti masyarakat lain. Mereka berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali
(resetlement) di sekitar kabupaten Bengkalis seperti di Kandis, Balai Pungut,
Kota Kapur, Minas, Duri, sungai siak dan sungai apit bagian hulu.
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai,
K-ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di
kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan
yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian
besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi
merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari
kemajuan.
Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan populasinya berjumlah
sekitar 6500 jiwa atau sekitar 1400 keluarga. Suku bangsa ini diperkirakan
sebagai sisa-sisa kelompok ras melayu yang lebih dulu datang ke daerah ini,
kemudian terdesak oleh gelombang melayu yang lebih muda. Bahasa yang mereka
pakai memang dapat digolongkan ke dalam kelompok bahasa melayu tetapi dengan
beberapa ciri sendiri. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata
pencarian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di
sungai-sungai.[9]
Menurut data stastik kependudukan kecamatan Mandau, sampai pada
tahun 2004, penduduk yang terdaftar tercatat 226. 566 jiwa, dan dengan jumlah
kepala keluarga 44.699 (KK). Orang Sakai hidup dalam wilayah kabupaten
Bengkalis Provinsi Riau. Jumlah orang Sakai terbanyak berada di kecamatan
Mandau.[10]
2.
Perbatinan
Lima dan Delapan
a.
Perbatinan Lima
Secara
budaya, luas daerah pemukiman warga Sakai dibagi berdasarkan lokasi tempat
tinggal. Setiap lokasi dipimin oleh seorang batin yang berfungsi sebagai
pemimpin spiritual dan adat istiadat. Peranan batin pada masyarakat Sakai
sangat sentral. Untuk mewujudkan wiayah tanah pembatinan, maka dalam perbatinan
lima ini ditandai dengan gundukan tanah seperti bukit kecil tetapi tidak
terlalu besar.
Negeri
pagaruyun sangat padat penduduknya. Rajanya berusaha mencari wilayah-wilayah
pemukiman baru untuk menampung kepadatan
penduduknya. Wilayah yang dipilah adalah sebelah Timur Pagaruyun, yaitu dengan
rombongan yang jumlahnya 190 terdiri atas 189 janda dan seorang hulubalang atau
prajurit laki-laki. [11]
Disebut dengan Perbatinan Lima mereka masing‐masing
perbatinan mempunyai tanah hak ulayat dan hutan di (1) Minas; (2) Kuala Penaso;
(3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau.
b.
Perbatinan Delapan[12]
Untuk
menentukan wilayah perbatinan delapan ini yaitu dengan cara memukul gendang
basah. Gendang basah dibawa dengan perahu kecil (jokong) ke sungai Mandau, lalu
gendang ditabuh. Sejauhmana bunyi gendang itu dapat didengar, sejauh itu pula
wilayah perbatinan setiap batin dipancangkan. Dalam melaksanakan tugasnya,
batin dibantu tungkek, antan-antan, monti[13].
Disebut perbatinan Delapan adalah kelompok
orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan oleh Raja Siak Sri Indrapura
meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebanga; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5)
Semunai; (6) Sam‐Sam; (7) Kandis; (8) Balai Makam.
Jadi
dari sejarah asal muasal orang sakai khususnya sejarah terbentuknya perbatinan
lima dan delapan, dapat dilihat bahwa orang sakai menurut penelitian ini mereka
berasal dari Minangkabau (Pagaruyung dan Mentawai).
3.
Orang-orang Sakai pada Masa Kerajaan
Siak
Para batin orang
sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok
perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi
kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak
menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik
berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis. Pajak-pajak tersebut
dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan
penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan
diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis
orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat
(balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil).[14]
Seorang batin
memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan
dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah
tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai
kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja
siak. Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau.
Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan
antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai
pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan
kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya
dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu
itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang
sakai.[15]
Pengangkatan
seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu
upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam.
4.
Orang-orang Sakai pada Masa Belanda
dan Jepang
Karena orang
sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan
selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasayarakat yang lebih luas, maka
mereka tidak pernah atau jarang mempunyai hubungan langsung dengan orang
belanda atau kekuasaan pemerintahan jajahan belanda yang ada di Riau. Walaupun
kegiatan-kegiatan pencaharian dan pengeboran minyak telah dilakukan di wilayah
kecamatan Mandau sejak sebelum perang dunia II tetapi kontak-kontak langsung
dengan orang asing (Belanda) hampir tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan
orang sakai takut dan malu terhadap orang asing.[16]
Kekuasaan
pemerintah penjajahan Belanda di Riau, sama halnya dengan daerah-daerah lainnya
di Indonesia. Kekuasaan belanda bekerja sama dengan penguasa-penguasa
tradisional setempat. Di daerah Mandau dan sekitarnya adalah melalui kekuasaan
raja siak. Sehingga orang sakai hanya mengetahui dan merasakan kekuasaan dan
kewibawaan kerajaan Siak. Inipun dilakukan oleh para batin orang sakai. Seperti
terjadinya peristiwa pembunuhan, barulah opas atau polisi yang merupakan alat
kekuasaan pemerintah Belanda menangani masalah ini sampai ke daerah-daerah
pedalaman tempat tinggal orang Sakai.
Sedangkan
pada masa pemeritahan Jepang, orang sakai tidak dipedulikan oleh orang Jepang.
Mereka dibiarkan menjalani hidup cara mereka sebelumnya. Bahkan dalam membayar
pajak ataupun kerja wajib (romusha) tidak diwajibkan oleh pemerintah Jepang.
Walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan
pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Mereka melihat
kekejaman tentara Jepang terhadap para pekerja romusha yang didatangkan dari
Jawa. Sebagian kecil dari romusha ini dapat melarikan diri dari rombongan
romusha tersebut. Mereka ditolong dan diberi makan dan disembunyikan oleh
orang-orang sakai yang ada di daerah sekitar ini.
Diantara
mereka yang ditolong ini kemudian hidupa bersama dengan menjadi warga
masyarakat orang sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang Sakai
yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang sakai setempat. Di Muara Basung
ada dua orang sakai yang menyatakan ayahnya adalah romusha yang melarikan diri
dan kawin dengan orang sakai. Kemudian juga di PKMT (Pembinaan Kesejahteraan
Masyarakat Terasing) Sialang Rimbun juga ada dua orang warganya berayahkan
seorang pelarian romusha.[17]
5.
Perkembangan Suku Sakai pada Masa
NKRI/ di Daerah Globalisasi
Kehidupan
masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja
perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra
lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman
penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan
juga pola hidup suku sakai.
Mereka kini
jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang.
Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini
berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan
terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak lagi menyelimuti
kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah.[18]
B. Sistem Kekerabatan Orang Sakai[19]
Sistem
kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut
garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan anak
perempuan dari anak laki‐laki. Anak
perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak laki‐laki hanya seolah‐olah pemberi
bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar,
semua barang milik baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik
wanita.
Kedudukan kepala suku diwariskan
dari wanita, dan anak‐anak
mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga
tidak memiliki anak perempuan, maka seolah‐olah hidup
tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti anak laki‐laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki‐laki membantu orang tua meringankan beban hidup
keluarga.
Sistem
kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam
menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam
berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompok‐kelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud
dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu
atau dua kelompok keluarga. Namun sistem ini (pola kerjasama) di antara mereka
tidak selamanya dapat diaplikasikan ke semua jenis ‘gotong royong’, semisal
yang diinisiasi pemerintah seperti Jumat bersih atau ‘tanggung renteng’ dalam
pengelolaan dana bergulir. Hal‐hal demikian
tidak dikenal oleh masyarakat, dan terkesan ‘mengada‐ada’.
Ego
perorangan dalam masyarakat Sakai sangat kuat, Suparlan (1995) menyebutkan
bahwa ‘ego diri sendiri’ bukan ‘ego kelompok’ merupakan pusat dalam pertukaran.
Jika orang Sakai berutang atau memberikan sesuatu barang kepada orang lain,
maka kewajiban yang memberikan sesuatu barang tersebutlah yang menagih. Artinya
orang yang berkepentingan itulah yang harus meminta kembali apa yang
diberikannya. Termasuk dalam hal memberikan jasa dan timbal‐baliknya (balas‐jasa).
C. Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga
dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai
ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada
“animisme”, kekuatan magi dan tenung. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah
memeluk agama Islam tetapi “agama asli” mereka tetap mereka yakini. Orang Sakai
di Muara Basung memeluk agama Islam. Tetapi hanya sebagian saja yang
betul-betul menjalankan shalat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam
bulan puasa. Mereka yang taat ini justru kebanyakan adalah anak-anak muda.[20]
Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai
adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau makhluk gaib yang
ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga
memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan
pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di
tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[21]
Meskipun masyarakat
Sakai menganggap bahwa hantu memiliki dunia yang berbeda dengan mereka, namun
hantu-hantu tersebut menempati wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal
di pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah
dan sebagainya. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat
mereka, tetapi mereka dapat melihat manusia. Hanya orang-orang tertentu yang
dapat berkomunikasi dengan hantu-hantu itu melalui ritual khusus untuk
mendatangkan mereka.
Dalam pandangan
masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan
manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak
memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat.
Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang
netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi
khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai bantuan ketika manusia
memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah hantu yang dapat
mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim penyakit, menimbulkan
kemalangan, dan menyebabkan kematian.
Dalam pandangan
masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian
dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota
keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan
itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal
sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di
tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah orang yang
meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang
dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan
kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak
selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena
keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah
tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih
hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah
tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan
rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal
dunia.
Hal ini dimaksudkan
agar arwah anggota keluarga yang meninggal tidak menempel terus dan mencampuri
urusan dan kegiatan mereka. Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri
urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus
dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi
sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.[23]
Masyarakat Sakai
memercayai bahwa penyakit dan kematian ada yang disebabkan oleh hantu.
Hantu-hantu itu dapat dimintai bantuannya untuk menenung seseorang. Orang Sakai
biasanya menggunakan medium hantu untuk menenung ketika terjadi perselisihan di
antara mereka. Prinsip ilmu tenung orang Sakai adalah menggunakan kekuatan antu
untuk membunuh lawan.
Antu tersebut dapat disuruh melakukan
pembunuhan dengan imbalan sesajian makanan yang terbuat dari beras ketan,
beras, telur ayam, dan ayam. Walaupun hantu ini memiliki kekuatan yang dapat
mencelakakan manusia, tetapi hanya orang-orang yang dianggap kotor yang dapat
dicelakakan atau dibunuh hantu.
Orang-orang ini biasanya adalah mereka yang
dengan sengaja melanggar hukum adat yang telah disepakati bersama atau orang-orang
yang bertindak secara sembarangan dan tidak memperhatikan bahwa di alam sekitar
terdapat mahluk-mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Sedangkan manusia yang
bersih hanya dapat diganggu oleh antu tetapi tidak dapat dicelakakan
atau dibunuh olehnya. [24]
Dalam pandangan
masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian
dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota
keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan
itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal
sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di
tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah orang yang
meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang
dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan
kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak
selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya
tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering
berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya
selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat
membawa sial[25].
Oleh karena itu, orang Sakai biasanya
meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka
yang meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang
meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika
si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang
masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang
masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati
diyakini tidak dapat menyeberangi sungai
Berikut ini merupakan
penjelasan dari metode pengobatan yang dilakukan yang disebabkan oleh gangguan
hantu: Pengobatan ini sebenarnya adalah semacam sarana negosiasi dengan hantu
agar mereka tidak mengganngu manusia. Suparlan menyebutkan ada tiga jenis cara
pengobatan yang berkembang dalam masyarakat Sakai, yaitu:[26]
a. Cara pengobatan Uras
Cara pengobatan Uras. Perincian dari cara pengobatan
Uras adalah sebagai berikut: orang yang sakit akibat gangguan hantu meminta
keluarganya untuk diantarkan kepada seorang bomo atau dukun. Keluarga si
sakit kemudian menyerahkan sebuah cincin perak kepada dukun. Cincin perak
tersebut dikembalikan lagi oleh dukun kepada keluarga si sakit dan sebagai
gantinya dia menerima sejumlah uang dari keluarga di sakit. Dukun kemudian
memberi mantra yang harus diucapkan oleh si sakit dan memberi resep obat yang
bahan-bahannya terdiri dari:
1)
Daun-daunan dari pohon
yang ditumbuh di hutan, seperti daun belum bangun, daun anuti, daun papaga, dan
daun ibu-ibu.
2)
Bahan-bahan dari padi,
di antaranya: padi ketan yang digoreng sangan sampai kulitnya terkelupas; beras
basah; beras rendang atau beras yang digoreng sangan; dan
beras kunyit atau beras yang direndam di dalam air kunyit.
3)
Makanan yang terdiri
dari nasi ketan kuning dan telur rebus satu butir.
4)
Lilin yang terbuat dari
damar
b. Cara pengobatan Jungkul
Cara pengobatan Jungkul. Proses pengobatan cara
Jungkul adalah sebagai berikut: keluarga meminta dukun untuk mengobati si sakit
dengan cara menyerahkan sebuah cincin perak. Cincin ini dinamakan “cincin
serah”. Cincin ini kemudian dipakaikan di tangan si sakit sebagai gelang dan
diikat dengan tali. Setelah dipakaikan pada si sakit, cincin ini berubah
sebutan menjadi “cincin semangat”. Artinya, cincin yang berisi kekuatan yang
dapat mengusir hantu yang mengganggu si sakit. Cincin tersebut tidak boleh
lepas dari pergelangan tangan si sakit, sebab kalau cincin tersebut sampai
lepas, maka penyakit yang diderita si sakit akan bertambah parah. Adapun
bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan Jungkul adalah sebagai berikut:
1) Anyam-anyaman yang terbuat dari daun janur kuning dan dari kayu asam paya
untuk membuat bangunan yang menyerupai rumah, kapal, atau istana. Bentuk
bangunan ini dibuat sesuai dengan permintaan hantu yang disampaikan melalui
dukun.
2) Obor besar yang dinyalakan waktu menghadap raja hantu yang menguasai dunia
hantu.
3) Beras rendang, beras kuning, dan
beras basah.
4) Nasi ketan kuning dan telur rebus.
5) Daun-daunan dari hutan yang sama jenisnya dengan yang digunakan saat
pengobatan Uras.[27]
c. Cara pengobatan Zdikir.
pengobatan dengan cara zdikir. Cara pengobatan zdikir
berlangsung selama tiga malam dan menggunakan bahan-bahan yang sama dengan yang
digunakan pada saat pengobatan Jungkul, namun dilengkapi dengan alat-alat
tetabuhan. Bedanya, kalau dalam pengobatan Jungkul si dukun melakukan
pengobatan dengan duduk bersila, maka dalam pengobata zdikir si dukun dengan
cara menari-nari di sekitar si sakit dengan diiringi bunyi-bunyian dari
alat-alat tetabuhan. Setelah pengobatan zdikir dianggap selesai, semua
peralatan pengobatan dibuang di bagian belakang rumah, dan si dukun pulang
sambil secara simbolik menyerahkan si sakit kepada keluarganya.
Jika si sakit tidak kunjung sembuh juga, maka si dukun
merekomendasikan untuk mengulangi pengobatan cara zdikir lagi. Kalau si sakit
tidak kunjung sembuh juga, maka si dukun menyerahkan nasib si sakit kepada para
hantu, yang dianggap sebagai bentuk kepasrahan di hadapan kekuatan hantu.
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting
berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan
perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan
bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak
Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan
dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan
secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai.
Adapun upacara tersebut antara lain:
1.
Upacara kematian
2.
Upacara kelahiran
3.
Upacara pernikahan
4.
Upacara penobatan batin
(orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga
upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.
Upacara menanam padi
2.
Upacara menyiang
3.
Upacara sorang sirih
4.
Upacara tolak bala.
Adapun upacara-upacara
adat dan keagamaan suku Sakai akan lebih dijelaskan berikut ini:
1.
Upacara Perkawinan
Perkawinan
masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam
pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari
orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak
gadis. Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan
si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya
untuk melamar si gadis. Biasanya upacara
perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi
lamaran.[29]
Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan
antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman
dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain
dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata
uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang yang
terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, serpal, bantal, guling serta
kelambu; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; dan radio atau tape
recorder).
Bahan-bahan untuk upacara perkawinan, (Sebuah mata uang/ riyal jika pada lamaran tidak wajib namun, untuk
mas kawin ini wajib baju sepersalinan lengkap, sepotong pakaian untuk dipakai
sehari-hari, sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak, dan sejumlah mata uang sudah dalam satuan
rupiah tergantung kesepakatan).
Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah
"batin". Tata Pelaksanaan Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan
pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut:
Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan
tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud
keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan.
Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan
hari perkawinan. Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan
penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya
perkawinan). Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah
"batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina
tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil
(KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka
ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat
segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara
makan-makan dan minum-minuman[30]
2.
Upacara Penobatan Batin
(orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru
Para batin orang sakai
memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok
perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi
kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak
menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik
berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pajak-pajak tersebut
dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan
penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan
diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis
orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat
(balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil).
Seorang batin memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah
dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya
berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang
menjadi pegawai kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat
peristirahatan keluarga raja siak.
Pada mulanya daerah ini
termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau. Melalui hubungan mengangkat
saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan antara pegawai istana kerajaan
tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai pungut dengan batin tenggganau
maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan kedudukannya sama dengan sebuah
kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para
informan, kepala desa balai pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata
dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang Sakai[31]
Pengangkatan seorang
batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara
penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam.
Disamping batin, raja siak juga mengangkat seorang wakil batin yang diberi nama
Tongkek. Upacara batin. Tugas seorang tongkek adalah membantu
pekerjaan-pekerajaan batin, khususnya dalam kegiatan pengumpulan pajak, dan
dalam keadaan batin berhalangan mewakili batin dalam tugas-tugasnya.
Tugas seorang Batin
dalam zaman kerajaan siak, yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintah
jajahan Belanda disamping mengumpulkan pajak juga menjaga ketertibam kehidupan
di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi pencurian, dan perbuatan-perbuatan
maksiat (perzinahan). Seorang batin dapat menjatuhkan hukuman denda kepada
warga masyarakat yang dipimpinnya yang kedapatan bersalah karena merugikan
sesama warga masyarakatnya. Sedangkan hukuman badan ataupun pengadilan karena
yang bersangkutan melakukan pembunuhan tidak dapat diputuskan oleh seorang
batin. Dalam hal ini terjadinya pembunuhan maka si pembunuh diserahkan kepada
punggawa kerajaan di Balai pungut, dan dalam zaman Belanda diserahkan kepada
opas atau polisi.[32]
3. Upacara Menanam Padi
Benih padi yang disiapkan untuk ditugal di
gunakan dengan cara melobangkan tanah yang akan isi padi. Cara melobangkan
tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu yang diruncingkan dengan ukuran
1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis padi-padiannya,. Padi pulut, padi
induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi
sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan hari untuk mempersiapkan kegiatan
menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
Satu hari sebelum dilakukan kegiatan
menanam bibit tanaman padi ini dilakukan upacara "mematikan tanah"
yang tujuannya adalah agar ladang tersebut tanahnya dingin atau subur dan
mereka yang tinggal diladang tersebut terpelihara dan terjaga dari mara bahaya.
Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga yang
sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan meminta perlindungan POTI SOI (
putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan itu tepatnya di tengah ladang, orang
sakai menanamkan "jejak bumi" di tanam sebatang limau nipis yang
ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera yang lafalnya adalah :
Pati soi
Gemolo soi
Siti dayang sempono
Tuan, engkau nak besuko-suko ati
Ketonggah ladang
Setelah upacara yang dilakukan pada pagi
hari, maka dimulailah penanaman padi. Penanaman bibit-bibit padi biasanya
berlangsung selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh suami dan isteri dari
keluarga yang berladang bahkan pihak tetangga juga membantu melaksanakan pekerjaan
itu.
E.
Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-agama Lain
Masyarakat Sakai hidup secara mengelompok di sekitar hulu Sungai,
atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok terdiri dari 2 (dua)
hingga 5 (lima) keluarga batih. Mata pencaharian hidupnya umumnya adalah
berburu dan bercocok tanah yang berpindah-pindah dengan sistem tebang-bakar (slash and burn). Setelah terjadi
interaksi yang pertama kali muncul ke Indonesia yaitu dengan agama Hindu, aspek
keagamaan Hindupun mereka kenal seperti penyebutan Poti Soi (pelafalan untuk Putri Sri atau Dewi Sri) dan penyebutan
batara di dalam pengobatan.[33]
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting
dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup
jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak
kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan
kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam
kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan
hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat.
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada
agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti
agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu
diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk
agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah
orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu.
Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila
dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan
Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai
yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan
sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata
pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau
sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari
Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.[34]
Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku
untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya
yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar
(Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang
mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).[35]
Namun
menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang
memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal
digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian
menggunakan hukum Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah yang telah dipaparkan maka dapat
disimpulkan bahwa suku Sakai itu berasal dari Riau, di mana masyarakat tersebut
masih menjaga kearifan lokal dengan mengikuti ajaran-ajaran atau
kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka meskipun sudah banyak orang yang
memeluk agama besar di Indonesia ini yaitu agama Islam dan Kristen. Dalam suku
Sakai juga ada beberapa upacara-upacara yang menggunakan adat khusus bagi
masyarakat Sakai tersebut yang tentunya membedakan dengan suku yang lainnya.
B.
Saran
Bagi siapa saja yang membaca dan mempelajari makalah
ini disarankan agar tidak merasa puas dan lebih memperluas lagi apa-apa saja
yang terkait dengan suku Sakai di Riau.
[3]https://www.academia.edu/2522423/ORANG_SAKAI_GAMBARAN_MASA_NEOLITIK, diakses pada
tanggal 12/04/2016
[5]Depsos, Petunjuk
Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta: Depsos, 1988), h. 27
[6]Pasurdi
Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995), h. 39-40
[8]Thamri Husni, Sakai
Kekuasaan Pembangunan dan Marjinalisasi, (Pekanbaru: IAIN Suska Riau,
2003), h. 23
[9]Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 330
[13]Tungkek
adalah dapat dianalogikan sebagai struktur administrasi pemerintahan modern
yang kedududkannya sama dengan menteri dalam negeri, sedangkan antan-antan
adalah membantu batin dalam penetapan denda dan sanksi bagi masyarakat yang
melanggar adat dan tradisi yang telah disepakati. Adapun monti sendiri
adalah berfungsi sebagai legislatif, yaitu menetapkan kaidah-kaidah,
garis-garis adat dan menjaga agar tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
[18]http://intipsejarah.blogspot.co.id/2014/08/suku-sakai-merupakan-salah-satu-suku.html, diakses pada
tanggal 14/04/2-16
[19]https://edhoantro.wordpress.com/2014/04/14/suku-sakai-dalam-tujuh-unsur-kebudayaan/, diakses pada
tanggal 14/04/2-16
[21]Pasurdi
Suparlan, Op.Cit, h. 197
[28]http://onlineallarticles.blogspot.co.id/2011/10/makalah-adat-istiadat-suku-sakai.html, diakses pada
tanggal 17/03/2016
[29]Pasurdi
Suparlan, Op.Cit, 179-183
[31]http://wwwlastmanstanding.blogspot.co.id/2011/02/suku-bangsa-sakai.html,diakses pada
tanggal 17/03/2016
[32]http://wwwlastmanstanding.blogspot.co.id/2011/02/suku-bangsa-sakai.html,diakses pada
tanggal 17/03/2016