Kamis, 09 Juni 2016

REVISI MAKALAH SUKU SAKAI



MAKALAH REVISI
AGAMA TRADISIONAL ORANG SAKAI
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Agama Lokal
Dosen Pengampu: Siti Nadroh, MA

Di susun oleh:
Mahfudhoh                11140321000065
Fauziah Gustapo       11140321000067
Rozatul Husna           11150321000043


 



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2016




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam pembahasan mengenai agama lokal salah satunya yaitu Suku Sakai yang berada di daerah Riau. Membahas sedikit Suku Sakai di Riau merupakan suku yang sampai saat ini masih mempertahankan ajaran-ajaran nenek moyang mereka meskipun sudah banyak orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Suku Sakai ini sangat menjaga kearifan lokal di mana meski sudah ada pengaruh dari luar tetapi masih menjaga ajaran-ajaran leluhur baik itu dari segi kepercayaan maupun upacara-upacara adat. 
Pada dasarnya nama Sakai ini diambil dari gabungan kata-kata S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Di mana hal tersebut mencermikan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu sungai yang banyak ikan dan airnya untuk mandi dan minum. Di sini pemakalah akan lebih jauh memaparkan tentang “Agama Tradisional Orang Sakai”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asal-usul orang Sakai di kepulauan Riau?
2.      Bagaimana sistem kekerabatan orang-orang Sakai?
3.      Apa saja kepercayaan dan magi orang Sakai?
4.      Apa saja upacara adat dan upacara keagamaan suku Sakai?
5.      Bagaimana interaksi kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama lain?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui asal-usul orang Sakai di kepulauan Riau
2.      Untuk mengetahui sistem kekerabatan orang-orang Sakai
3.      Untuk mengetahui apa saja kepercayaan dan magi orang Sakai
4.      Untuk mengetahui seperti apa upacara adat dan upacara keagamaan suku Sakai
5.      Untuk mengetahui interaksi kepercayaan orang Sakai dengan agama-agama lain. 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah dan Asal-usul Orang Sakai di Kepulaun Riau
            Sekilas mengenai sejarah Sakai sendiri dapat diketahui pada zaman Pluvial di daerah trovis yang di sejajarkan oleh para ahli dengan zaman Glacial di Eropa dan Amerika. Nusantara (Indonesia) ini belumlah merupakan pulau-pulau, tetapi masih bersatu dengan daratan Asia. Masuk pada gelombang pertama adalah suku Wedoid yang mempunyai ciri khas, yang oleh para ahli diakui sebagai suku bangsa pertama yang menghuni nusantara ini. Mereka adalah pengembara (nomaden) karena kehidupanya tergantung semata-mata kepada alam, dengan demikian mereka disebut suku bangsa yang hidup dengan food Gathering[1]. Sisa-sisa suku ini di daerah Riau ditandai dengan adanya Suku Sakai, Kubu dan Suku orang hutan. Suku-suku ini oleh para ahli disejajarkan dengan suku Senoi di Malaysia, suku Tokea, dan Toa di sulawesi yang diperkirakan sebagai sisa-sisa suku bangsa Wedoid itu.[2]
            Adapun secara lebih jelas mengenai sejarah dan asal-usul orang Sakai bisa dirincikan dengan adanya sub-sub bab berikut ini:
1.      Gambaran Asli Orang Sakai, Sejarah dan Asal-usul Suku Sakai  Masyarakat Sakai di Riau merupakan salah satu kelompok masyarakat tradisonal yang masih memiliki kebudayaan dan  mencerminkan kesamaan dengan kebudayaan masyarakat masa prasejarah.[3]
      Masyarakat Sakai merupakan masyarakat tradisional yang hidup secara berkelompok dan nomaden, dengan mata pencaharian yang umumnya mengumpulkan hasil hutan disela-sela menunggu panen padi. Pada awalanya hunian hanya tersebar di pedalaman wilayah kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau dan pada bebera puluh tahun berselang pemerintah melaksanakan proyek pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing, dengan membuat hunian (semacam perkampungan) yang menjadikan masyarakt Sakai lebih tersebar keberadaannya.
      Suku Sakai merupakan suku terasing yang mendiami provinsi Riau.  Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.  Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.[4]
      Nama sakai dalam sebutan bagi penduduk pengembara yang terpencil dari lalu lintas kehidupan dunia kekinian di Riau. Mereka tinggal di bagian hulu sungai Siak. Menurut Boehari Hasmmy, mengatakan bahwa orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung Minangkabau Sumatera Barat dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14 langsung ke daerah Mandau. Sedangkan yang datang kemudian diperkirakan tiba di Riau abad ke 18, yang datang di kerajaan Gasib dan kemudian hancur diserang oleh kerajaan Aceh, sehingga penduduknya lari ke dalam hutan belantara dan masing-masing membangun rumah dan ladangnya secara terpisah satu sama lainnya di bawah kepemimpinan salah seorang diantara mereka.[5]
      Adapun asal-usul orang Sakai ini sangat menarik perhatian, oleh karenanya tidak cukup satu pendapat saja. Ada beberapa pendapat asal-usul orang Sakai di Riau diantaranya Pendapat pertama mengatakan bahwa Suku Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni Nusantara adalah orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.
      Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman, orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil kawin campur antara keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang Sakai.[6]
      Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa orang-orang Sakai berasal dari Pagaruyung dan Batusangkar. Menurut versi cerita ini, orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.[7]
      Suku Sakai merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan, pedalaman Riau pada abad ke-14. Seperti halnya Suku Ocu (penduduk asli Kabupaten Kampar), Orang Kuantan, dan Orang Indragiri, Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau berabad-abad lalu.
      Sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang. Tidak ada data pasti mengenai jumlah orang Sakai. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI menyatakan bahwa jumlah orang Sakai di Kabupaten Bengkalis sebanyak 4.995 jiwa. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai dalam merupakan warga Sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman suku melayu dan suku lainnya.[8]
      Nama sakai diberikan oleh orang luar yang merendahkan suku bangsa itu. Suku bangsa sakai dianggap sebagai salah satu masyarakat di provinsi Riau dalam arti belum terjangkau oleh kegiatan pengembangan dan kemajuan budaya seperti masyarakat lain. Mereka berdiam di beberapa lokasi pemukiman kembali (resetlement) di sekitar kabupaten Bengkalis seperti di Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sungai siak dan sungai apit bagian hulu.
      Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
      Pada tahun 1984 yang lalu diperkirakan populasinya berjumlah sekitar 6500 jiwa atau sekitar 1400 keluarga. Suku bangsa ini diperkirakan sebagai sisa-sisa kelompok ras melayu yang lebih dulu datang ke daerah ini, kemudian terdesak oleh gelombang melayu yang lebih muda. Bahasa yang mereka pakai memang dapat digolongkan ke dalam kelompok bahasa melayu tetapi dengan beberapa ciri sendiri. Masyarakat ini umumnya masih melakukan kegiatan mata pencarian berburu dan meramu di hutan-hutan atau menangkap ikan di sungai-sungai.[9]
      Menurut data stastik kependudukan kecamatan Mandau, sampai pada tahun 2004, penduduk yang terdaftar tercatat 226. 566 jiwa, dan dengan jumlah kepala keluarga 44.699 (KK). Orang Sakai hidup dalam wilayah kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jumlah orang Sakai terbanyak berada di kecamatan Mandau.[10]

2.      Perbatinan Lima dan Delapan
a.       Perbatinan Lima
            Secara budaya, luas daerah pemukiman warga Sakai dibagi berdasarkan lokasi tempat tinggal. Setiap lokasi dipimin oleh seorang batin yang berfungsi sebagai pemimpin spiritual dan adat istiadat. Peranan batin pada masyarakat Sakai sangat sentral. Untuk mewujudkan wiayah tanah pembatinan, maka dalam perbatinan lima ini ditandai dengan gundukan tanah seperti bukit kecil tetapi tidak terlalu besar.
Negeri pagaruyun sangat padat penduduknya. Rajanya berusaha mencari wilayah-wilayah pemukiman baru untuk menampung  kepadatan penduduknya. Wilayah yang dipilah adalah sebelah Timur Pagaruyun, yaitu dengan rombongan yang jumlahnya 190 terdiri atas 189 janda dan seorang hulubalang atau prajurit laki-laki. [11]
Disebut dengan Perbatinan Lima mereka masingmasing perbatinan mempunyai tanah hak ulayat dan hutan di (1) Minas; (2) Kuala Penaso; (3) Beringin; (4) Belutu; dan (5) Tengganau.

b.      Perbatinan Delapan[12]
            Untuk menentukan wilayah perbatinan delapan ini yaitu dengan cara memukul gendang basah. Gendang basah dibawa dengan perahu kecil (jokong) ke sungai Mandau, lalu gendang ditabuh. Sejauhmana bunyi gendang itu dapat didengar, sejauh itu pula wilayah perbatinan setiap batin dipancangkan. Dalam melaksanakan tugasnya, batin dibantu tungkek, antan-antan, monti[13].
            Disebut perbatinan Delapan adalah kelompok orang Sakai yang di beri hak untuk membuka hutan oleh Raja Siak Sri Indrapura meliputi wilayah (1) Petani; (2) Sebanga; (3) Air Jamban; (4) Pinggir; (5) Semunai; (6) SamSam; (7) Kandis; (8) Balai Makam.
            Jadi dari sejarah asal muasal orang sakai khususnya sejarah terbentuknya perbatinan lima dan delapan, dapat dilihat bahwa orang sakai menurut penelitian ini mereka berasal dari Minangkabau (Pagaruyung dan Mentawai).

3.      Orang-orang Sakai pada Masa Kerajaan Siak
Para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis. Pajak-pajak tersebut dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat (balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil).[14]
Seorang batin memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja siak. Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau. Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang sakai.[15]
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam.

4.      Orang-orang Sakai pada Masa Belanda dan Jepang
Karena orang sakai hidup di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasayarakat yang lebih luas, maka mereka tidak pernah atau jarang mempunyai hubungan langsung dengan orang belanda atau kekuasaan pemerintahan jajahan belanda yang ada di Riau. Walaupun kegiatan-kegiatan pencaharian dan pengeboran minyak telah dilakukan di wilayah kecamatan Mandau sejak sebelum perang dunia II tetapi kontak-kontak langsung dengan orang asing (Belanda) hampir tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan orang sakai takut dan malu terhadap orang asing.[16]
Kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda di Riau, sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kekuasaan belanda bekerja sama dengan penguasa-penguasa tradisional setempat. Di daerah Mandau dan sekitarnya adalah melalui kekuasaan raja siak. Sehingga orang sakai hanya mengetahui dan merasakan kekuasaan dan kewibawaan kerajaan Siak. Inipun dilakukan oleh para batin orang sakai. Seperti terjadinya peristiwa pembunuhan, barulah opas atau polisi yang merupakan alat kekuasaan pemerintah Belanda menangani masalah ini sampai ke daerah-daerah pedalaman tempat tinggal orang Sakai.
Sedangkan pada masa pemeritahan Jepang, orang sakai tidak dipedulikan oleh orang Jepang. Mereka dibiarkan menjalani hidup cara mereka sebelumnya. Bahkan dalam membayar pajak ataupun kerja wajib (romusha) tidak diwajibkan oleh pemerintah Jepang. Walaupun wilayah tempat kehidupan mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya. Mereka melihat kekejaman tentara Jepang terhadap para pekerja romusha yang didatangkan dari Jawa. Sebagian kecil dari romusha ini dapat melarikan diri dari rombongan romusha tersebut. Mereka ditolong dan diberi makan dan disembunyikan oleh orang-orang sakai yang ada di daerah sekitar ini.
Diantara mereka yang ditolong ini kemudian hidupa bersama dengan menjadi warga masyarakat orang sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang Sakai yang menolongnya dan kawin dengan wanita orang sakai setempat. Di Muara Basung ada dua orang sakai yang menyatakan ayahnya adalah romusha yang melarikan diri dan kawin dengan orang sakai. Kemudian juga di PKMT (Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) Sialang Rimbun juga ada dua orang warganya berayahkan seorang pelarian romusha.[17]

5.      Perkembangan Suku Sakai pada Masa NKRI/ di Daerah Globalisasi
Kehidupan masyarakat Sakai saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh pendatang serta pekerja perkebunan dari tanah Jawa, Medan, Padang dan juga beberapa daerah di Sumatra lainnya. Banyaknya pembukaan hutan untuk perkebunan sawit dan juga pemukiman penduduk baru serta program transmigrasi, telah mempengaruhi cara pemikiran dan juga pola hidup suku sakai.
Mereka kini jarang yang hidup di hutan, tetapi menetap bersama-sama dengan pendatang. Kepercayaan animisme yang dahulu dianut oleh sebagian besar suku Sakai, kini berganti dengan beberapa agama seperti Islam, atau pun juga Kristen. Sehingga keyakinan terhadap makhluk halus yang sering disebut 'Antu, tidak lagi menyelimuti kehidupan mereka. Anak-anak Suku Sakai pun sudah memasuki sekolah.[18]

B.     Sistem Kekerabatan Orang Sakai[19]
            Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Yang lebih diutamakan adalah kedudukan anak perempuan dari anak lakilaki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak lakilaki hanya seolaholah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Dalam budaya Sakai hak perempuan Sakai besar, semua barang milik baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik wanita.
            Kedudukan kepala suku diwariskan dari wanita, dan anakanak mengikuti ibu, bukan ayah. Karena itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka seolaholah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti anak lakilaki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak lakilaki membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga.
            Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompokkelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga. Namun sistem ini (pola kerjasama) di antara mereka tidak selamanya dapat diaplikasikan ke semua jenis ‘gotong royong’, semisal yang diinisiasi pemerintah seperti Jumat bersih atau ‘tanggung renteng’ dalam pengelolaan dana bergulir. Halhal demikian tidak dikenal oleh masyarakat, dan terkesan ‘mengadaada’.
            Ego perorangan dalam masyarakat Sakai sangat kuat, Suparlan (1995) menyebutkan bahwa ‘ego diri sendiri’ bukan ‘ego kelompok’ merupakan pusat dalam pertukaran. Jika orang Sakai berutang atau memberikan sesuatu barang kepada orang lain, maka kewajiban yang memberikan sesuatu barang tersebutlah yang menagih. Artinya orang yang berkepentingan itulah yang harus meminta kembali apa yang diberikannya. Termasuk dalam hal memberikan jasa dan timbalbaliknya (balasjasa).

C.    Kepercayaan dan Magi Orang Sakai
Salah satu di antara ciri-ciri yang dimiliki orang Sakai yang juga dianggap oleh orang Melayu atau oleh golongan suku bangsa lainnya sebagai ciri-ciri orang Sakai, adalah agama mereka yang diselimuti oleh keyakinan pada “animisme”, kekuatan magi dan tenung. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi “agama asli” mereka tetap mereka yakini. Orang Sakai di Muara Basung memeluk agama Islam. Tetapi hanya sebagian saja yang betul-betul menjalankan shalat lima kali dalam satu hari dan berpuasa dalam bulan puasa. Mereka yang taat ini justru kebanyakan adalah anak-anak muda.[20]
Adapun inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau makhluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.[21]

1.  Hantu dalam Konsepsi Orang Sakai[22]
Meskipun masyarakat Sakai menganggap bahwa hantu memiliki dunia yang berbeda dengan mereka, namun hantu-hantu tersebut menempati wilayah yang juga dihuni manusia. Mereka tinggal di pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, hutan, ladang, tempat pemukiman, rumah dan sebagainya. Bedanya dengan manusia adalah bahwa manusia tidak dapat melihat mereka, tetapi mereka dapat melihat manusia. Hanya orang-orang tertentu yang dapat berkomunikasi dengan hantu-hantu itu melalui ritual khusus untuk mendatangkan mereka.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, hantu atau antu juga memiliki karakter yang sama dengan manusia, yaitu ada yang baik dan ada yang jahat. Namun, masyarakat Sakai tidak memiliki konsep yang jelas tentang jenis-jenis hantu yang baik dan yang jahat. Hantu dalam pandangan masyarakat Sakai sebenarnya memiliki karakter yang netral. Kecenderungan menjadi baik atau jahat tergantung dari situasi-situasi khusus. Hantu yang baik adalah hantu yang dapat dimintai bantuan ketika manusia memiliki kepentingan, sementara hantu yang jahat adalah hantu yang dapat mencelakakan manusia, misalnya hantu yang dapat mengirim penyakit, menimbulkan kemalangan, dan menyebabkan kematian.
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial. Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia.
Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai.[23]
Masyarakat Sakai memercayai bahwa penyakit dan kematian ada yang disebabkan oleh hantu. Hantu-hantu itu dapat dimintai bantuannya untuk menenung seseorang. Orang Sakai biasanya menggunakan medium hantu untuk menenung ketika terjadi perselisihan di antara mereka. Prinsip ilmu tenung orang Sakai adalah menggunakan kekuatan antu untuk membunuh lawan.
 Antu tersebut dapat disuruh melakukan pembunuhan dengan imbalan sesajian makanan yang terbuat dari beras ketan, beras, telur ayam, dan ayam. Walaupun hantu ini memiliki kekuatan yang dapat mencelakakan manusia, tetapi hanya orang-orang yang dianggap kotor yang dapat dicelakakan atau dibunuh hantu.
 Orang-orang ini biasanya adalah mereka yang dengan sengaja melanggar hukum adat yang telah disepakati bersama atau orang-orang yang bertindak secara sembarangan dan tidak memperhatikan bahwa di alam sekitar terdapat mahluk-mahluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Sedangkan manusia yang bersih hanya dapat diganggu oleh antu tetapi tidak dapat dicelakakan atau dibunuh olehnya. [24]
Dalam pandangan masyarakat Sakai, arwah dari orang yang sudah meninggal juga menjadi bagian dari hantu-hantu tersebut. Orang Sakai sangat takut dengan arwah anggota keluarga yang baru saja meninggal, kecuali arwah bayi dan anak kecil. Ketakutan itu disebabkan adanya keyakinan bahwa arwah orang yang baru saja meninggal sebenarnya sudah hidup di alam lain tetapi masih berada dan tinggal di tempat-tempat anggota keluarga yang masih hidup.
Arwah orang yang meninggal ini berada di sekeliling anggota keluarga, dan karena hubungan yang dekat semasa hidup arwah tersebut selalu ikut campur urusan-urusan dan kegiatan-kegiatan anggota keluarganya. Campur tangan arwah tersebut tidak selamanya selaras dengan keinginan anggota keluarga yang masih hidup. Karena keduanya tidak dapat melakukan komunikasi, maka campur tangan dari arwah tersebut sering berujung pada kesialan pada anggota keluarganya yang masih hidup, misalnya selalu gagal dalam melakukan sesuatu. Intinya, keberadaan arwah tersebut dapat membawa sial[25].
 Oleh karena itu, orang Sakai biasanya meninggalkan rumah mereka selama seminggu ketika ada anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan agar arwah anggota keluarga yang meninggal tidak menempel terus dan mencampuri urusan dan kegiatan mereka. Jika si arwah dirasa masih mengikuti dan mencampuri urusan anggota keluarga yang masih hidup, maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan anggota keluarga yang masih hidup adalah harus pergi menyeberangi sungai, karena arwah orang mati diyakini tidak dapat menyeberangi sungai
Berikut ini merupakan penjelasan dari metode pengobatan yang dilakukan yang disebabkan oleh gangguan hantu: Pengobatan ini sebenarnya adalah semacam sarana negosiasi dengan hantu agar mereka tidak mengganngu manusia. Suparlan menyebutkan ada tiga jenis cara pengobatan yang berkembang dalam masyarakat Sakai, yaitu:[26]
a.    Cara pengobatan Uras
Cara pengobatan Uras. Perincian dari cara pengobatan Uras adalah sebagai berikut: orang yang sakit akibat gangguan hantu meminta keluarganya untuk diantarkan kepada seorang bomo atau dukun. Keluarga si sakit kemudian menyerahkan sebuah cincin perak kepada dukun. Cincin perak tersebut dikembalikan lagi oleh dukun kepada keluarga si sakit dan sebagai gantinya dia menerima sejumlah uang dari keluarga di sakit. Dukun kemudian memberi mantra yang harus diucapkan oleh si sakit dan memberi resep obat yang bahan-bahannya terdiri dari:
1)        Daun-daunan dari pohon yang ditumbuh di hutan, seperti daun belum bangun, daun anuti, daun papaga, dan daun ibu-ibu.
2)        Bahan-bahan dari padi, di antaranya: padi ketan yang digoreng sangan sampai kulitnya terkelupas; beras basah; beras rendang atau beras yang digoreng sangan; dan beras kunyit atau beras yang direndam di dalam air kunyit.
3)        Makanan yang terdiri dari nasi ketan kuning dan telur rebus satu butir.
4)        Lilin yang terbuat dari damar
b.      Cara pengobatan Jungkul
Cara pengobatan Jungkul. Proses pengobatan cara Jungkul adalah sebagai berikut: keluarga meminta dukun untuk mengobati si sakit dengan cara menyerahkan sebuah cincin perak. Cincin ini dinamakan “cincin serah”. Cincin ini kemudian dipakaikan di tangan si sakit sebagai gelang dan diikat dengan tali. Setelah dipakaikan pada si sakit, cincin ini berubah sebutan menjadi “cincin semangat”. Artinya, cincin yang berisi kekuatan yang dapat mengusir hantu yang mengganggu si sakit. Cincin tersebut tidak boleh lepas dari pergelangan tangan si sakit, sebab kalau cincin tersebut sampai lepas, maka penyakit yang diderita si sakit akan bertambah parah. Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pengobatan Jungkul adalah sebagai berikut:
1)      Anyam-anyaman yang terbuat dari daun janur kuning dan dari kayu asam paya untuk membuat bangunan yang menyerupai rumah, kapal, atau istana. Bentuk bangunan ini dibuat sesuai dengan permintaan hantu yang disampaikan melalui dukun.
2)      Obor besar yang dinyalakan waktu menghadap raja hantu yang menguasai dunia hantu.
3)    Beras rendang, beras kuning, dan beras basah.
4)    Nasi ketan kuning dan telur rebus.
5)      Daun-daunan dari hutan yang sama jenisnya dengan yang digunakan saat pengobatan Uras.[27]
c.       Cara pengobatan Zdikir.
pengobatan dengan cara zdikir. Cara pengobatan zdikir berlangsung selama tiga malam dan menggunakan bahan-bahan yang sama dengan yang digunakan pada saat pengobatan Jungkul, namun dilengkapi dengan alat-alat tetabuhan. Bedanya, kalau dalam pengobatan Jungkul si dukun melakukan pengobatan dengan duduk bersila, maka dalam pengobata zdikir si dukun dengan cara menari-nari di sekitar si sakit dengan diiringi bunyi-bunyian dari alat-alat tetabuhan. Setelah pengobatan zdikir dianggap selesai, semua peralatan pengobatan dibuang di bagian belakang rumah, dan si dukun pulang sambil secara simbolik menyerahkan si sakit kepada keluarganya.
Jika si sakit tidak kunjung sembuh juga, maka si dukun merekomendasikan untuk mengulangi pengobatan cara zdikir lagi. Kalau si sakit tidak kunjung sembuh juga, maka si dukun menyerahkan nasib si sakit kepada para hantu, yang dianggap sebagai bentuk kepasrahan di hadapan kekuatan hantu.  

D.    Upacara Adat dan Keagamaan Suku Sakai[28]
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
1.      Upacara kematian
2.      Upacara kelahiran
3.      Upacara pernikahan
4.      Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya:
1.      Upacara menanam padi
2.      Upacara menyiang
3.      Upacara sorang sirih
4.      Upacara tolak bala.
Adapun upacara-upacara adat dan keagamaan suku Sakai akan lebih dijelaskan berikut ini:
1.      Upacara Perkawinan
      Perkawinan masyarakat Sakai ini biasanya diawali dengan hubungan yang serius dan mendalam pada setiap personal. Namun hubungan ini selalu melibatkan pengawasan dari orang tua bahkan masyarakat, biasanya pengawasan ketat dilakukan oleh pihak gadis. Ketika kedua belah pihak merasa bahwa hubungan diantara si perjaka dan si gadis sudah nampak makin serius, maka orang tua si perjaka menyuruh anaknya untuk melamar si gadis. Biasanya  upacara perkawinan diselenggarakan setelah satu bulan hingga dua bulan setelah prosesi lamaran.[29]
Bahan-bahan lamaran biasanya diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Bahan untuk melamar. Terdapat perbedaan antara masyarakat Sakai dahulu dengan sekarang dalam hal lamaran. Pada zaman dulu, bahan-bahan yang dipersiapkan meliputi: (Sirih pinang selengkapnya; kain dan baju persalinan; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; sebuah mata uang riyal yang terbuat dari perak; sebuah beling; dan sebuah mata tombak).
Sementara bahan-bahan yang dipakai sekarang meliputi: (Ranjang yang terbuat dari besi, yang dilengkapi dengan kasur, serpal, bantal, guling serta kelambu; gelang dan cincin yang terbuat dari perak; dan radio atau tape recorder).
Bahan-bahan untuk upacara perkawinan, (Sebuah mata uang/ riyal  jika pada lamaran tidak wajib namun, untuk mas kawin ini wajib baju sepersalinan lengkap, sepotong pakaian untuk dipakai sehari-hari, sebuah cincin dan gelang yang terbut dari perak,  dan sejumlah mata uang sudah dalam satuan rupiah tergantung kesepakatan).
Tempat Pelaksanaan Upacara perkawinan diselenggarakan dirumah "batin". Tata Pelaksanaan Menurut Suparlan: tata laksana perkawinan pada masyarakat Sakai sah dikatakan apabila memenuhi tahapan-tahapan berikut: Prosesi Lamaran (lamaran dilakukan oleh seorang "batin", perempuan tua yang dipercaya oleh orang tua laki-laki untuk mewakili menyampaikan maksud keluarga). Lalu "batin" memberi daun sirih sebagai simbol pinangan. Dan jika diterima lalu barang-barang lamaran diserahkan, kemudian menentukan hari perkawinan. Penyerahan Mas Kawin (merupakan tahap awal dari upacara, dan penyerahan mas kawin dilakukan dirumah "batin" dan tempat dilangsungkannya perkawinan). Upacara Pengesahan Perkawinan (upacara ini dilakukan di rumah "batin" setelah selesai menyerahkan mas kawin. Agar status perkawina tidak hanya sah secara adat, perkawinan juga dihadiri petugas pencatatan sipil (KUA) setempat. Agar secara administratif sudah dianggap sah  dan terdaftar dan diakui pemerintah.
Pesta Perkawinan (setelah upacara perkawinan dianggap selesai, maka ditabuhlah gendang betalu-talu untuk menandakan bahwa pesta perkawinan dapat segera dimulai, pesta berlangsung tiga hari tiga malam diisi dengan acara makan-makan dan minum-minuman[30]

2.      Upacara Penobatan Batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru
      Para batin orang sakai memperoleh surat pengakatan menjadi batin dari raja Siak. Dua kelompok perbatinan masing-masing diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang jelas wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintah kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan ini. Pajak dan upeti yang ditarik berupa berbagai hasil hutan dan juga anak-anak gadis.
Pajak-pajak tersebut dalam wilayah perbatinan lima diserahkan kepada raja Siak melalui tangan penghulu (kepala desa) Mandau, sedangkan pajak-pajak dari perbatinan delapan diserahkan melalui tangan penghulu (kepala desa) petani. Adapun gadis-gadis orang sakai diserahkan di balai pungut tempat para bangsawan beristirahat (balai=rumah atau tempat, pungut = memungut atau memilih untuk diambil). Seorang batin memperoleh bagian kira-kira sepuluh persen dari pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Semula balai Pungut hanya berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh orang Melauu yang menjadi pegawai kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja siak.
Pada mulanya daerah ini termasuk dalam wilayah perbatinan tengganau. Melalui hubungan mengangkat saudara (hubungan adik-beradik) yang dikukuhkan antara pegawai istana kerajaan tersebut yang menjadi kepala pemukimam balai pungut dengan batin tenggganau maka balai pungut dapat dijadikan dan dinaikkan kedudukannya sama dengan sebuah kepenghuluan (desa) yang setaraf kedudukannya dengan Tengganau. Menurut para informan, kepala desa balai pungut pada waktu itu berfungsi sebagai mata-mata dalam sistem keamanan wilayah kehidupan orang Sakai[31]
Pengangkatan seorang batin dalam zaman kerajaan siak selalu dilakukan dengan melalui suatu upacara penobatan yang diikuti dengan pesta makan-minum tujuh hari tujuh malam. Disamping batin, raja siak juga mengangkat seorang wakil batin yang diberi nama Tongkek. Upacara batin. Tugas seorang tongkek adalah membantu pekerjaan-pekerajaan batin, khususnya dalam kegiatan pengumpulan pajak, dan dalam keadaan batin berhalangan mewakili batin dalam tugas-tugasnya.
Tugas seorang Batin dalam zaman kerajaan siak, yang kemudian juga dilanjutkan dalam masa pemerintah jajahan Belanda disamping mengumpulkan pajak juga menjaga ketertibam kehidupan di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi pencurian, dan perbuatan-perbuatan maksiat (perzinahan). Seorang batin dapat menjatuhkan hukuman denda kepada warga masyarakat yang dipimpinnya yang kedapatan bersalah karena merugikan sesama warga masyarakatnya. Sedangkan hukuman badan ataupun pengadilan karena yang bersangkutan melakukan pembunuhan tidak dapat diputuskan oleh seorang batin. Dalam hal ini terjadinya pembunuhan maka si pembunuh diserahkan kepada punggawa kerajaan di Balai pungut, dan dalam zaman Belanda diserahkan kepada opas atau polisi.[32]

3.      Upacara Menanam Padi
      Benih padi yang disiapkan untuk ditugal di gunakan dengan cara melobangkan tanah yang akan isi padi. Cara melobangkan tanah ini suku sakai biasanya menggunakan kayu yang diruncingkan dengan ukuran 1-1,5 M. Padi yang mereka tanam berbagai jenis padi-padiannya,. Padi pulut, padi induk, dan padi kawat. Bila ladang sudah dipersiapkan dan bibit tanaman padi sudah siap untuk ditanam, maka ditentukan hari untuk mempersiapkan kegiatan menunggal padi yang dilakukan bersama-sama.
      Satu hari sebelum dilakukan kegiatan menanam bibit tanaman padi ini dilakukan upacara "mematikan tanah" yang tujuannya adalah agar ladang tersebut tanahnya dingin atau subur dan mereka yang tinggal diladang tersebut terpelihara dan terjaga dari mara bahaya. Upacara mematikan tanah ini dilakukan oleh masing-masing kepala keluarga yang sama-sama membangun ketetanggaan ladang dan meminta perlindungan POTI SOI ( putri sri, dewi padi ). Bersamaan dengan itu tepatnya di tengah ladang, orang sakai menanamkan "jejak bumi" di tanam sebatang limau nipis yang ditambah ramuan-ramuan serta membawa mantera yang lafalnya adalah :
      Pati soi
      Gemolo soi
      Siti dayang sempono
      Tuan, engkau nak besuko-suko ati
      Ketonggah ladang
      Setelah upacara yang dilakukan pada pagi hari, maka dimulailah penanaman padi. Penanaman bibit-bibit padi biasanya berlangsung selama 2-5 hari penanaman di lakukan oleh suami dan isteri dari keluarga yang berladang bahkan pihak tetangga juga membantu melaksanakan pekerjaan itu.

E.     Interaksi Kepercayaan Orang Sakai dengan Agama-agama Lain
Masyarakat Sakai hidup secara mengelompok di sekitar hulu Sungai, atau mata air dan juga di rawa-rawa. Setiap kelompok terdiri dari 2 (dua) hingga 5 (lima) keluarga batih. Mata pencaharian hidupnya umumnya adalah berburu dan bercocok tanah yang berpindah-pindah dengan sistem tebang-bakar (slash and burn). Setelah terjadi interaksi yang pertama kali muncul ke Indonesia yaitu dengan agama Hindu, aspek keagamaan Hindupun mereka kenal seperti penyebutan Poti Soi (pelafalan untuk Putri Sri atau Dewi Sri) dan penyebutan batara di dalam pengobatan.[33]
Agama orang Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup jasmani dan rohani dan kegiatan-kegiatannya adalah preventif dan kuratif. Corak kegiatan-kegiatan seperti ini lebih menekankan pada penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi untuk kepentingan-kepentingan praktis dalam kehidupan manusia. Coraknya yang seperti tersebut di atas sebenarnya merupakan hasil dari proses-proses adaptasi terhadap lingkungan kehidupan orang sakai setempat.
Suku Sakai meskipun masyarakat terasing tetapi telah ada agama-agama besar yang masuk atau berinteraksi dengan suku mereka yaitu seperti agama Islam dan Kristen. Bukti adanya interaksi dengan agama-agama lain yaitu diantaranya: sebagaian dari orang Sakai di Kecamatan Mandau ada yang memeluk agama Kristen, di samping mayoritasnya beragama Islam. Mereka adalah orang-orang Sakai yang tinggal di desa-desa Tengganau, Kandis, dan Belutu. Walaupun jumlah mereka yang memeluk agama Kristen amat sedikit bila dibandingkan dengan pemeluk agama Islam, tetapi tokoh-tokoh Islam di kecamatan Mandau mengkhawatirkan perluasan jumlah mereka. Sebagian dari orang-orang Sakai yang telah memeluk agama Kristen ini tetap menjalankan cara-cara kehidupan sebagai orang Sakai, yaitu berladang; sedangkan sebagian lainnya mengubah mata pencaharian mereka menjadi pedagang atau buruh. Yang menarik adalah bahwa kalau sehari-hari orang-orang Sakai beragam Kristen itu tampak kumal tetapi pada hari Minggu, pada waktu pergi ke gereja, mereka tampak berpakaian rapih.[34] 
Karena itu agama orang Sakai itu bersifat lokal dan hanya berlaku untuk tingkat lokal, baik dalam pengertian wilayah maupun corak kegiatannya yang khusus lokal yang tidak tercakup di dalam dan oleh ajaran-ajaran agama besar (Islam dan Kristen). Salah satu perwujudannya adalah cara pengobatan yang mereka namakan “dikir” (yang tidak sama dengan “zikir dalam Islam).[35]
Namun menurut Bosniar dalam kehidupan masyarakat Sakai sekarang banyak juga yang memakai hukum Islam dalam lembaga waris mereka, artinya sistem matrilineal digunakan untuk menentukan kerabat tapi dalam pembagian waris mereka sebagian menggunakan hukum Islam.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari makalah yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa suku Sakai itu berasal dari Riau, di mana masyarakat tersebut masih menjaga kearifan lokal dengan mengikuti ajaran-ajaran atau kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka meskipun sudah banyak orang yang memeluk agama besar di Indonesia ini yaitu agama Islam dan Kristen. Dalam suku Sakai juga ada beberapa upacara-upacara yang menggunakan adat khusus bagi masyarakat Sakai tersebut yang tentunya membedakan dengan suku yang lainnya.

B.     Saran
Bagi siapa saja yang membaca dan mempelajari makalah ini disarankan agar tidak merasa puas dan lebih memperluas lagi apa-apa saja yang terkait dengan suku Sakai di Riau.














                [1]Segala kebutuhan primair (makan) tergantung pada apa saja yang disediakan alam.
                [2]http://sakaikandislestari.blogspot.co.id/p/sakai--kandis..html, diakses pada tanggal 12/04/2016
                [3]https://www.academia.edu/2522423/ORANG_SAKAI_GAMBARAN_MASA_NEOLITIK, diakses pada tanggal 12/04/2016
[4]Uu Hamidi, Masyarakat Terasing Daerah Riau di Gerbang Abad XXI, (Pekanbaru: UIR, 1991), h.12
[5]Depsos, Petunjuk Teknis Masyarakat Terasing dan Terbelakang, (Jakarta: Depsos, 1988), h. 27
[6]Pasurdi Suparlan, Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 39-40
[7]Ibid, h. 73-74
[8]Thamri Husni, Sakai Kekuasaan Pembangunan dan Marjinalisasi, (Pekanbaru: IAIN Suska Riau, 2003), h. 23
[9]Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 330
                [10]Syahrial De Saputra, Kearifan Lokal yang Terkandung dalam Uapacara Tradisional Kepercayaan Masyarajak Sakai-Riau, (Tanjungpinang: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional: 2010), Cet. I, h. 19
                [11]Ibid, h. 25-26
                [12]Ibid, h. 27
                [13]Tungkek adalah dapat dianalogikan sebagai struktur administrasi pemerintahan modern yang kedududkannya sama dengan menteri dalam negeri, sedangkan antan-antan adalah membantu batin dalam penetapan denda dan sanksi bagi masyarakat yang melanggar adat dan tradisi yang telah disepakati. Adapun monti sendiri adalah berfungsi sebagai legislatif, yaitu menetapkan kaidah-kaidah, garis-garis adat dan menjaga agar tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan.
                [14]Uu Hamidi, Op.Cit, h. 15-20
[15]Ibid, h. 15-20
[16]Ibid, h. 15-20
[17]Ibid, h. 21
                [18]http://intipsejarah.blogspot.co.id/2014/08/suku-sakai-merupakan-salah-satu-suku.html, diakses pada tanggal 14/04/2-16
                      [19]https://edhoantro.wordpress.com/2014/04/14/suku-sakai-dalam-tujuh-unsur-kebudayaan/, diakses pada tanggal 14/04/2-16
[20]Ibid, h. 194
[21]Pasurdi Suparlan, Op.Cit, h. 197
[22]Ibid, h. 199
[23]Ibid, h. 200
[24]Ibid, h. 200
[25]Ibid, h. 200
[26]Ibid, h. 202-210
[27]Ibid, h. 202-210
[29]Pasurdi Suparlan, Op.Cit, 179-183
[30]Ibid, h. 179-183
                [33] Pasurdi Suparlan, Op.Cit, h. 115
[34] Ibid, h. 201
[35] Ibid, h. 201