SUKU MENTAWAI
Sumber: https://www.google.com/search?q=letak+geografis+suku+mentawai&client=ubuntu&hs=Fa&channel=fs&biw=1366&bih=635&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiN0433_JvNAhXDhaYKHVRhCBgQ_AUIBigB#imgrc=ua92awTFZE2uTM%3A
A. Asal-usul Suku Mentawai
Mentawai merupakan negara kepulauan yang ditemukan di
lepas pantai barat Sumatera (Indonesia) yang terdiri dari sekitar 70 pulau dan
pulau. Empat pulau utama adalah Utara dan Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut;
dengan Siberut – mencakup 4.480 kilometer persegi dan dengan jumlah penduduk
sekitar 29.918; yang 90% adalah penduduk asli asal Mentawai, yang lain 10%
dianggap terdiri dari Minangkabau, Jawa, dan Batak, menjadi empat dari yang
terbesar. Para nenek moyang orang Mentawai adat diyakini telah
bermigrasi pertama ke wilayah tersebut di suatu tempat antara 2000 – 500 SM.[1]
Pada abad 17 diantara pulau-pulau yang ada di
kepulauan Mentawai hanya Siberut satu satunya pulau yang sudah berpenghuni,
sedangkan pulau-pulau lainnya masih kosong. Di pulau Siberut memang tampak dan
jelas pengaruh Nias. Namun dikalangan orang Mentawai sendiri terdapat legenda
mengenai asal-usul dari suku bangsa ini.
Dahulu ada seorang laki-laki bernama Ama Tawe (bapak
si Tawe), bermaksud mencari ikan ke Pulau Nias. Tetapi malang perahu Ama Tawe
dipukul badai, maka terdamparlah Ama Tawe di suatu pantai (sekarang disebut
pulau siberut). Lalu Ama Tawe berjalan, sampai ke muara sungai (sekarang
bernama Simatulu, Siberut tengah bagian barat). Ama Tawe mendapati pohon sagu
yang banyak dan pohon tales yang subur sekali. Lalu, Ama Tawe membuat perahu
untuk menjemput anak dan istrinya di Pulau Nias. Namun ama Tawe tidak saja hanya
mengajak anak dan istrinya tapi juga mmengajak beberapa orang dari kampungnya
untuk ikut bersamanya. Orang orang menganggap bahwa pulau yang ditemukan Ama
Tawe adalah pulaunya, maka orang orang kampung menyebut pulau itu sebagai pulau
Ama Tawe atau biasa diucap Amantawe yang akhirnya menjadi “Mentawai”.
Suku Mentawai tinggal di kepulauan Mentawai yang
terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai Sumatera, yang terdiri dari 40
pulau besar dan kecil. Ada empat pulau besar yang didiami manusia yaitu Siberut,
Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Beberapa hipotesis diajukan untuk
menjelaskan asal-usul genealogi suku Mentawai. Neumann misalnya menggolongkan
suku Mentawai dalam golongan Melayu Polinesia. Bangsa Polinesia sejak dahulu
mendiami pulau Sumatera. Namun kedatangan bangsa Melayu menyebabkan mereka
terusir dan menyingkir ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.[2]
B. Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai
Orang-orang Mentawai memiliki tipe Melayu Polinesia.
Beberapa ahli berpendapat demikian karena berdasarkan anatomi para ahli
terhadap tubuh masyarakat Mentawai tergambar, sebagai berikut :
1. Berkulit kuning
2. Bermata sipit
3. Menggunakan cawat atau penutup aurat dari bahan kulit
kayu.[3]
B. Rumah Tradisional Mentawai
Rumah Adat Suku Mentawai memiliki 3 jenis rumah yang
mempunyai fungsi masing-masing. Uma, Lalep, dan Rusuk.
1. Uma, rumah besar
yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama serta tempat menyimpan
warisan pusaka. Juga menjadi tempat suci untuk persembahan, penyimpanan
tengkorak binatang buruan. Setiap kampung mempunyai Uma-uma itu tersendiri
yaitu yang disebut juga dengan Kepala Uma. Uma adalah rumah besar yang
berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama
bagi semua anggotanya. Ditempati 3 sampai 4 keluarga.
2. Lalep, tempat
tinggal suami istri yang pernikahannya sudah dianggap sah secara adat. Biasanya
lalep terletak di dalam Uma. , ditempati oleh 1 keluarga.
3. Rusuk, suatu
pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan mereka
yang diusir dari kampung.
C. Kepercayaan dan Religi Suku Mentawai
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai
jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan
juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang
menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di
ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya
tidur, merupakan mimpinya. Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa
itu bertemu dengan ruh jahat.
Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam
keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan
meninggal. Jiwa itu kemudian tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat
(ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.[4]
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.[4]
Demi kemajuan penduduk, pemerintah
daerah pada saat ini telah mangadakan pemberian beasiswa pada putra-putra
Mentawai. Secara bertahap melalui fase-fase tertentu akan dicapai tingkat mutu
pendidikan yang sama dengan daerah lain. Diharapkan telah ada Sekolah Menengah
Pertama Kejuruan di tiap kecamatan dan Sekolah Menengah Atas untuk Kepulauan
Mentawai serta standarisasi sekolah-sekolah dasar. Guna kelangsungan
pembangunan Kepulauan Mentawai maka diprogramkan pemberian beasiswa bagi
pelajar secara selektif, yang setelah selesai dari studinya dikembalikan
sebagai tenaga-tenaga kerja potensi ke Mentawai.Barat.[5]
E. Sistem Ekonomi dan Sosial Suku Mentawai
Kebiasaan tata hidup penduduk Mentawai
terpencar-pencar bertahan dengan kehidupan yang statis tradisional. Pemerintah
daerah telah mengadakan usaha yang bertahap untuk memukimkan penduduk Mentawai.
Di samping itu diadakan pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing di
pedalaman Mentawai. Usaha-usaha pemerindah dalam memajukan kepulauan Menatawai telah
dimulai sejak tahun 1972, hal ini juga berkaitan dengan maksud untuk menjadikan
Mentawai sebagai daerah pariwisata untuk melengkapi potensi pariwisata di
Sumatra.
Masyarakat Mentawai dengan keserdehanaan cara berfikirnya belum mempunyai pendangan hidup jauh kedepan. Mereka hanya mementingakan suatu perasaan ketenangan, kesenangan, dan kebebasan hidup yang sama dan sederhana. Dengan pandangan yang demikian tentu mereka belum dapat atau terbiasa menerima norma-norma dan peraturan yang terdapat pada masyarakat luarnya. Jika mendapatkan hasil hari ini maka akan dihabiskan hari ini juga, mereka tidak mengenal cadangan atau simpanan untuk hari esok dan hari berikutnya. Keadaan ini adalah sebenarnya karena didikan alam karena apa yang diperlukan sebagai kebutuhan kelompok yang telah disediakan oleh alam.
Masyarakat Mentawai dengan keserdehanaan cara berfikirnya belum mempunyai pendangan hidup jauh kedepan. Mereka hanya mementingakan suatu perasaan ketenangan, kesenangan, dan kebebasan hidup yang sama dan sederhana. Dengan pandangan yang demikian tentu mereka belum dapat atau terbiasa menerima norma-norma dan peraturan yang terdapat pada masyarakat luarnya. Jika mendapatkan hasil hari ini maka akan dihabiskan hari ini juga, mereka tidak mengenal cadangan atau simpanan untuk hari esok dan hari berikutnya. Keadaan ini adalah sebenarnya karena didikan alam karena apa yang diperlukan sebagai kebutuhan kelompok yang telah disediakan oleh alam.
D. Upacara Perkawinan Suku Mentawai
Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak
lelaki. Lelaki dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan
hidup calon istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi.
Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial
dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat.
Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan
rumah secara sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih
baik dan kesiapan materi yang lebih memadai. Jika pihak laki-laki dipandang
telah cukup mampu bertanggung-jawab secara materi dengan kepemilikan atas
ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi, maka perkawinan bisa langsung
diresmikan secara adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan yang “dewasa”
secara sosial. Ini adalah tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem
sosial, masuk ke dalam kebersamaan adat.
Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal
di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang
disebut rumah lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia
telah tinggal di rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat.
Tujuan pernikahan di Mentawai yaitu untuk melanjutkan keturunan guna
menghasilkan anak yang dapat membantu mereka untuk menyambung hidup seperti di
lading bagi ayah, dan menangkap ikan bagi sang ibu. Perkawinan suku Mentawai
pada umumnya adalah monogami dengan system patrilial, sedangkan perceraian
sangat dilarang di suku Mentawai.[6]
Sumber:https://www.google.co.id/search?q=suku+mentawai&espv=2&biw=1366&bih=667&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjPz6671azNAhXEQ48KHechAc4Q_AUIBigB#imgrc=YJRBVZ2Re9bGhM%3A
Sumber:https://www.google.co.id/search?q=suku+mentawai&espv=2&biw=1366&bih=667&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjPz6671azNAhXEQ48KHechAc4Q_AUIBigB#imgrc=McFLz8cKyHl0fM%3A