Kamis, 19 Mei 2016

SUKU MENTAWAI


SUKU MENTAWAI 


 
Sumber: https://www.google.com/search?q=letak+geografis+suku+mentawai&client=ubuntu&hs=Fa&channel=fs&biw=1366&bih=635&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiN0433_JvNAhXDhaYKHVRhCBgQ_AUIBigB#imgrc=ua92awTFZE2uTM%3A

A.    Asal-usul Suku Mentawai
Mentawai merupakan negara kepulauan yang ditemukan di lepas pantai barat Sumatera (Indonesia) yang terdiri dari sekitar 70 pulau dan pulau. Empat pulau utama adalah Utara dan Pagai Selatan, Sipora, dan Siberut; dengan Siberut – mencakup 4.480 kilometer persegi dan dengan jumlah penduduk sekitar 29.918; yang 90% adalah penduduk asli asal Mentawai, yang lain 10% dianggap terdiri dari Minangkabau, Jawa, dan Batak, menjadi empat dari yang terbesar. Para nenek moyang orang Mentawai adat diyakini telah bermigrasi pertama ke wilayah tersebut di suatu tempat antara 2000 – 500 SM.[1]
Pada abad 17 diantara pulau-pulau yang ada di kepulauan Mentawai hanya Siberut satu satunya pulau yang sudah berpenghuni, sedangkan pulau-pulau lainnya masih kosong. Di pulau Siberut memang tampak dan jelas pengaruh Nias. Namun dikalangan orang Mentawai sendiri terdapat legenda mengenai asal-usul dari suku bangsa ini.
Dahulu ada seorang laki-laki bernama Ama Tawe (bapak si Tawe), bermaksud mencari ikan ke Pulau Nias. Tetapi malang perahu Ama Tawe dipukul badai, maka terdamparlah Ama Tawe di suatu pantai (sekarang disebut pulau siberut). Lalu Ama Tawe berjalan, sampai ke muara sungai (sekarang bernama Simatulu, Siberut tengah bagian barat). Ama Tawe mendapati pohon sagu yang banyak dan pohon tales yang subur sekali. Lalu, Ama Tawe membuat perahu untuk menjemput anak dan istrinya di Pulau Nias. Namun ama Tawe tidak saja hanya mengajak anak dan istrinya tapi juga mmengajak beberapa orang dari kampungnya untuk ikut bersamanya. Orang orang menganggap bahwa pulau yang ditemukan Ama Tawe adalah pulaunya, maka orang orang kampung menyebut pulau itu sebagai pulau Ama Tawe atau biasa diucap Amantawe yang akhirnya menjadi “Mentawai”.
Suku Mentawai tinggal di kepulauan Mentawai yang terletak sekitar 100 km di sebelah barat pantai Sumatera, yang terdiri dari 40 pulau besar dan kecil. Ada empat pulau besar yang didiami manusia yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Beberapa hipotesis diajukan untuk menjelaskan asal-usul genealogi suku Mentawai. Neumann misalnya menggolongkan suku Mentawai dalam golongan Melayu Polinesia. Bangsa Polinesia sejak dahulu mendiami pulau Sumatera. Namun kedatangan bangsa Melayu menyebabkan mereka terusir dan menyingkir ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.[2]

B. Ciri-ciri dan Karakteristik Suku Mentawai
      Orang-orang Mentawai memiliki tipe Melayu Polinesia. Beberapa ahli berpendapat demikian karena berdasarkan anatomi para ahli terhadap tubuh masyarakat Mentawai tergambar, sebagai berikut :
1.      Berkulit kuning
2.      Bermata sipit
3.      Menggunakan cawat atau penutup aurat dari bahan kulit kayu.[3]

B.     Rumah Tradisional Mentawai
Rumah Adat Suku Mentawai memiliki 3 jenis rumah yang mempunyai fungsi masing-masing. Uma, Lalep, dan Rusuk.
1.      Uma, rumah besar yang menjadi rumah induk tempat penginapan bersama serta tempat menyimpan warisan pusaka. Juga menjadi tempat suci untuk persembahan, penyimpanan tengkorak binatang buruan. Setiap kampung mempunyai Uma-uma itu tersendiri yaitu yang disebut juga dengan Kepala Uma. Uma adalah rumah besar yang berfungsi sebagai balai pertemuan semua kerabat dan upacara-upacara bersama bagi semua anggotanya. Ditempati 3 sampai 4 keluarga.
2.      Lalep, tempat tinggal suami istri yang pernikahannya sudah dianggap sah secara adat. Biasanya lalep terletak di dalam Uma. , ditempati oleh 1 keluarga.
3.      Rusuk, suatu pemondokan khusus, tempat penginapan bagi anak-anak muda, para janda dan mereka yang diusir dari kampung.

C.    Kepercayaan dan Religi Suku Mentawai
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam ruh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara. Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, merupakan mimpinya. Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat.
Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa itu kemudian tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.[4]

D. Sistem Pendidikan Suku Mentawai
            Demi kemajuan penduduk, pemerintah daerah pada saat ini telah mangadakan pemberian beasiswa pada putra-putra Mentawai. Secara bertahap melalui fase-fase tertentu akan dicapai tingkat mutu pendidikan yang sama dengan daerah lain. Diharapkan telah ada Sekolah Menengah Pertama Kejuruan di tiap kecamatan dan Sekolah Menengah Atas untuk Kepulauan Mentawai serta standarisasi sekolah-sekolah dasar. Guna kelangsungan pembangunan Kepulauan Mentawai maka diprogramkan pemberian beasiswa bagi pelajar secara selektif, yang setelah selesai dari studinya dikembalikan sebagai tenaga-tenaga kerja potensi ke Mentawai.Barat.[5]

E.     Sistem Ekonomi dan Sosial Suku Mentawai
       Kebiasaan tata hidup penduduk Mentawai terpencar-pencar bertahan dengan kehidupan yang statis tradisional. Pemerintah daerah telah mengadakan usaha yang bertahap untuk memukimkan penduduk Mentawai. Di samping itu diadakan pembinaan kesejahteraan masyarakat terasing di pedalaman Mentawai. Usaha-usaha pemerindah dalam memajukan kepulauan Menatawai telah dimulai sejak tahun 1972, hal ini juga berkaitan dengan maksud untuk menjadikan Mentawai sebagai daerah pariwisata untuk melengkapi potensi pariwisata di Sumatra.
       Masyarakat Mentawai dengan keserdehanaan cara berfikirnya belum mempunyai pendangan hidup jauh kedepan. Mereka hanya mementingakan suatu perasaan ketenangan, kesenangan, dan kebebasan hidup yang sama dan sederhana. Dengan pandangan yang demikian tentu mereka belum dapat atau terbiasa menerima norma-norma dan peraturan yang terdapat pada masyarakat luarnya. Jika mendapatkan hasil hari ini maka akan dihabiskan hari ini juga, mereka tidak mengenal cadangan atau simpanan untuk hari esok dan hari berikutnya. Keadaan ini adalah sebenarnya karena didikan alam karena apa yang diperlukan sebagai kebutuhan kelompok yang telah disediakan oleh alam. 

D.    Upacara Perkawinan Suku Mentawai
Di Siberut, pernikahan resmi memerlukan kesiapan pihak lelaki. Lelaki dimintai pertanggung-jawaban yang cukup berat untuk kelangsungan hidup calon istrinya. Pihak lelaki mesti membayar mahar yang bernilai tinggi. Hubungan muda-mudi sebagai pasangan rumah tangga dapat diterima secara sosial dalam “hubungan rusuk”, yaitu suatu perkawinan yang belum diresmikan adat.
Kedua muda-mudi pasangan rumah tangga harus mendirikan rumah secara sederhana, sementara si suami berusaha mencari nafkah yang lebih baik dan kesiapan materi yang lebih memadai. Jika pihak laki-laki dipandang telah cukup mampu bertanggung-jawab secara materi dengan kepemilikan atas ladang, peralatan rumah tangga, pohon sagu dan babi, maka perkawinan bisa langsung diresmikan secara adat. Sejak itu mereka diakui sebagai pasangan yang “dewasa” secara sosial. Ini adalah tanda bahwa pasangan muda tersebut masuk dalam sistem sosial, masuk ke dalam kebersamaan adat.
Hubungan ini disebut hubungan lalep. Mereka bisa tinggal di uma ayah si suami atau bila dia cukup mampu mendirikan rumah sendiri yang disebut rumah lalep. Seseorang akan menjadi terhormat kedudukannya jika dia telah tinggal di rumah lalep, yang berarti pernikahannya telah diresmikan adat. Tujuan pernikahan di Mentawai yaitu untuk melanjutkan keturunan guna menghasilkan anak yang dapat membantu mereka untuk menyambung hidup seperti di lading bagi ayah, dan menangkap ikan bagi sang ibu. Perkawinan suku Mentawai pada umumnya adalah monogami dengan system patrilial, sedangkan perceraian sangat dilarang di suku Mentawai.[6]

 
Sumber:https://www.google.co.id/search?q=suku+mentawai&espv=2&biw=1366&bih=667&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjPz6671azNAhXEQ48KHechAc4Q_AUIBigB#imgrc=YJRBVZ2Re9bGhM%3A



Sumber:https://www.google.co.id/search?q=suku+mentawai&espv=2&biw=1366&bih=667&source=lnms&tbm=isch&sa=X&sqi=2&ved=0ahUKEwjPz6671azNAhXEQ48KHechAc4Q_AUIBigB#imgrc=McFLz8cKyHl0fM%3A


            
              
               
        



                [1] http://www.sukumentawai.org/id/sejarah/, diakses pada tanggal 20/05/2016
                [2] Disarikan dari buku karangan Stefano Coronese, Kebudayaan Suku Mentawai, (Jakarta: Penerbit PT Grafidia Jaya, 1986)
                [3] http://herulimansyah.blogspot.co.id/2014/01/suku-mentawai.html
                [4] Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993)
                [5] Mardanas Izarwisma, , Adat dan Upacara Perkawinan Mentawai, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1993)
                [6] Mardanas Izarwisma

SUKU TOLAKI


SUKU TOLAKI

 
Sumber: https://www.google.com/search?q=peta++suku+tolaki&client=ubuntu&channel=fs&biw=1366&bih=635&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjEhrzBgZzNAhUHJJQKHRHKDcgQ_AUIBigB#imgrc=-nC9UW_dj4ameM%3A



A.    Asal-usul Suku Tolaki
Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara mendiami daerah yang berada di sekitar kabupaten Kendari dan Konawe. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan masyarakat nomaden yang handal, hidup dari hasil berburu dan meramu yang dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam bentuk kebudayaan memakan sagu, yang hingga kini belum dibudidayakan atau dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Masakan asli Suku Tolaki sebelum beras adalah dalam bentuk sajian sinonggi.
Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (delapan hari). Masyarakat Kendari percaya bahwa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat, walaupun sampai saat ini belum ada penelitian atau penelusuran ilmiah tentang hal tersebut. Kini masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka ketergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka memiliki sungai terbesar dan terpanjang di provinsi ini. Sungai ini dinamai sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.[1]

B.     Sistem Hukum Suku Tolaki
      Sistem Hukum yang brlaku dalam masyarakat Tolaki dan seorang  Mokole (Raja), pemimpin, dalam sumpah pelantikannya, telah mengucapkan ikrar dihadapan rakyatnya, untuk ia mentaati dan tunduk terhadap hukum yang berlaku,  dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Tolaki.
          Kelima sumber hukum itu adalah   :
1. Sara Wonua, yaitu Hukum adat pokok dalam pemerintahan.
2. Sara mbendulu, yaitu Hukum adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya.
3. Sara mbe'ombu, yaitu Hukum adat pokok dalam aktivitas agama dan Kepercayaan.
4. Sara mendarahia, yaitu Hukum adat pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan  keterampilan.
5. Sara monda'u, mombopaho, mombakani, melambu,dumahu, me oti-oti, yaitu Hukum adat pokok masing-masing dalam, berladang, berkebun, beternak, berburu, dan menangkap ikan.[2]

C.    Sistem Kekerabatan Masyarakat Tolaki
      Dalam masyarakat orang Tolaki, seperti pada semua masyarakat, sistem hubungan kekerabatan terjadi karena keturunan dan perkawinan. Hubungan kerabat karena keturunan disebut meohai yang berarti hubungan saudara, anamotuo yang berarti hubungan orang tua. Sedangkan hubungan karena perkawinan disebut pinetono yang berarti hubungan suami-istri, hubungan keluarga istri dan hubungan keluarga suami.
      Hubungan saudara tampak sebagai apa yang disebut mekotukombo atau hubungan saudara kandung, yang terdiri atas tiga macam, yaitu :
a. meohai aso ama aso ina yaitu hubungan saudara kandung seayah dan seibu.
b. meohai aso ama suere ina yaitu hubungan saudara kandung seayah lain ibu.
c. meohai aso ina suere ama yaitu hubungan saudara kandung seibu lain ayah.
      Selain hubungan saudara sebagai saudara kandung, ada juga hubungan saudara yang disebut meopoteha yaitu hubungan saudara sepupu. Hubungan saudara sepupu ini juga terdiri atas tiga macam, yaitu :
a. meopoteha monggo aso yaitu hubungan sepupu derajat satu.
b. meopoteha monggo ruo yaitu hubungan sepupu derajat dua.
c. meopoteha monggo tolu yaitu hubungan sepupu derajat tiga.
      Hubungan dengan orang tua tampak dalam unsur-unsur yang disebut mbeo'ana atau hubungan orang tua dengan anak dan mbeopue atau hubungan kakek atau nenek dengan cucu. Hubungan antara orang tua dengan anak terdiri dari unsur-unsur sebagai mbeo'ana kotukombo (hubungan orang tua dengan anak kandung) dan mbeolaki'ana (hubungan paman atau bibi dengan kemenakan). Hubungan paman atau bibi dengan kemenakan terdiri pula atas unsur mbeolaki'ana nggotukombo (hubungan paman atau bibi dengan kemenakan kandung) dan unsur mbeolaki'ana mboteha (hubungan paman atau bibi dengan kemenakan sepupu). Masing-masing paman sepupu, bibi sepupu, dan kemenakan terdiri pula atas tiga unsur, yakni sebagai sepupu derajat satu, sebagai sepupu derajat dua, dan sebagai sepupu derajat tiga.
      Selanjutnya hubungan antara kakek atau nenek dengan cucu terdiri dari tiga tingkat, baik ke atas maupun ke bawah, yakni :
a. meopue-mbue atau hubungan kakek nenek dengan cucu.
b. meopuetuko-mbuetuko atau hubungan piut dengan cici.
c. meopusele-mbusele atau hubungan buyut dengan cece.
      Menurut orang Tolaki, kakek atau nenek itu ada tujuh lapis. Lapisan ketujuh yang disebut puembitulapi (kakek atau nenek lapisan ketujuh) tidak dikenal lagi dan dipertanyakan oleh cucunya lapisan terbawah, oleh karena itu ada istilah puembinesuko'ako yang berarti kakek atau nenek yang dipertanyakan.[3]

D.    Kepercayaan dan Sistem Religi Suku Tolaki
Orang Tolaki telah sejak lama memeluk agama Islam. Akan tetapi sisa-sisa kepercayaan sebelum Islam masih dimiliki oleh beberapa kelompok kecil masyarakat. Kepercayaan animisme Tolaki meyakini adanya roh-roh yang mendiami semua benda, yang disebut sanggelo. Makhluk halus yang mereka pandang sebagai dewa disebut sangia. Baik sanggelo maupun sangia ada yang baik dan ada pula yang jahat. Sanggelo yang baik disebut sanggelo mbae, dan sangia yang jahat disebut sangia mbongae.[4]
Orang Tolaki mengenal banyak dewa. Setiap dewa diberikan nama menurut nama status dan fungsinya atau menurut nama tempat pesemayamannya di salah satu bagian alam. Dewa tertinggi disebut Sangia Mbu'u (kepala dewa). Dewa inilah yang bertindak sebagai penyambung lidah, titah Tuhan. Ia juga disebut Sangia Lahuene (dewa langit) karena Ia bersemayam di langit.
Dewa-dewa lainnya ialah :
a. Sangiano o wuta (dewa bumi) atau Guruno o wuta (gurunya tanah) yang mengatur dan memelihara kehidupan diatas bumi.
b. Sangia i puri wuta (dewa di pusat bumi) yang mengatur dan memelihara kehidupan di dalam bumi.
c. Sangia i puri tahi (dewa di dasar laut) yang mengattur dan memelihara laut dan segala sumber air.
d. Sangia i asaki ndahi (dewa di seberang laut) yang menjaga musuh dari luar dunia.
e. Sangia i losoano oleo (dewa di Timur) yang mengatur dan memelihara wilayah jagat di bagian timur termasuk menetapkan terbitnya matahari pada setiap hari.
f. Sangia i tepuliano oleo (dewa di Barat) yang mengatur dan memelihara wilayah jagat di bagian Barat termasuk menetapkan terbenamnya matahari pada setiap hari menjelang malam.
g. Sangia i ulu iwoi (dewa di hulu sungai atau dewa di Utara) yang menguasai wilayah jagat di sebelah Utara termasuk mengatur mengalirnya sumber air sampai ke laut.
h. Sangia i para iwoi (dewa di muara sungai atau dewa di Selatan) yang menguasai wilayah jagat di bagian Selatan termasuk menerima dan mengatur air masuk ke laut.
i. Dewi padi yang dinamakan Sanggoleo mbae (roh padi), Wurake mbae (nyawa  padi), Wulia mbae (halusnya padi), Warakano ombuno o pae (inti persona dewanya padi).

E.     Upacara Keagamaan Suku Tolaki
Beberapa macam upacara keagamaan orang Tolaki bersifat "ritus" yaitu yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan dan yang "upacara" yakni yang bersifat integrasi dan pengukuhan. Upacara yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan adalah :
1.      Mesosambakai (upacara kelahiran)
2.       Mepokui (potong rambut)
3.      Manggilo, mesuna, mewaka (upacara sunatan)
4.      Mateaha (upacara kematian)
5.      Upacara pertanian, yaitu : merondu (upacara pembukaan hutan perladangan), mombotudu (upacara penanaman padi di ladang) dan monahu nda'u (upacara tahun perladangan)
6.      Upacara tolak bala dan syukuran, yaitu : mosusu tombi-tombi monduha bangga-bangga (upacara pencegahan wabah penyakit dan mosehe (upacara pensucian diri karena melanggar ada
7.      Upacara yang bersifat integrasi dan pengukuhan adalah: Mepakawi (upacara perkawinan), pombotoroa mokole (upacara pelantikan raja di zaman dahulu), mombesara (upacara penyambutan raja atau pejabat pemerintah) dam mekindoroa (upacara perdamaian). [5]

F.     Pakaian Adat Suku Tolaki
Sejak dahulu masyarakat Tolaki telah membuat bahan pakaian yang disebut “Kinawo” artinya bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu. Proses pembuatan Kinawo ini dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana yaitu dengan cara mengambil kulit kayu tersebut yang disebut kayu Usongi, Dalisi, Otipulu, dan wehuka, kemudian dikuliti lalu kulit kayu tersebut direbus dengan abu dapur. Selanjutnya direndam sehari, setelah cukup lembut, kemudian dipukul –pukul pada kayu bulat besar dengan batu segi empat yang pilih hingga menjadi tipis dan lebar. Proses ini disebut “Monggawo” artinya membuat Kinawo (bahan pakaian).
Pakaian adat Tolaki / Accsesories dan sanggul, pada saat ini umumnya dibagi menjadi tiga (tiga) bagian yaitu :
1.      Pakaian adat wanita dan kelengkapannya
2.      Pakaian adat pria dan kelengkapannya
3.      Sanggul[6]

Sumber:https://www.google.co.id/searchq=tolaki&espv=2&biw=1366&bih=667 source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiEu6X06zNAhUJr48KHel7AKAQ_AUIBigB#imgrc=O-bPeK-CI_V56M%3A

Sumber:https://www.google.co.id/searchq=tolaki&espv=2&biw=1366&bih=667&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiE-u6X06zNAhUJr48KHel7AKAQ_AUIBigB&dpr=1#imgrc=vYZQ-n-BD1GcrM%3A




                [1] https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Tolaki, diakses pada tanggal 20/05/2016
                [2] http://tolaki-malaka.blogspot.co.id/, diakses pada tanggal 10/06/2016
                [3] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/sistem-sosial-orang-tolaki-1.html, diakses pada tanggal 10/06/2016
                [4] http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-suku-tolaki.html, diakses pada tanggal 20/05/2016
                [5] http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/sistem-religi-suku-tolaki.html, diakses pada tanggal 20/05/2016
                [6] https://lumanda.wordpress.com/2011/11/08/pakaian-adat-suku-tolaki/, diakses pada tanggal 20/05/2016